-->

AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK SAP 1



BAB I

PENDAHULUAN



Baca Juga

1.1  Latar Belakang Masalah

Gagasan perlunya standar akuntansi pemerintahan sebenarnya sudah lama ada, namun baru pada sebatas wacana. Seiring dengan berkembangnya akuntansi di sector komersil yang dipelopori dengan dikeluarkannya Standar Akuntansi Keuangan oleh Ikatan Akuntan Indonesia (1994), kebutuhan standar akuntansi pemerintahan kembali menguat. Oleh karena itu Badan Akuntansi Keuangan Negara (BAKUN), Departemen Keuangan mulai mengembangkan standar akuntansi.


Bergulirnya era reformasi memberikan sinyal yang kuat akan adanya transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara. Salah satunya adalah PP 105/2000 yang secara eksplisit menyebutkan perlunya standar akuntansi pemerintahan dalam pertanggungjawaban keuangan daerah. Pada tahun 2002 Menteri Keuangan membentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintah Pusat dan Daerah yang bertugas menyusun konsep standar akuntansi pemerintah pusat dan daerah yang tertuang dalam KMK 308/KMK.012/2002. UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mengamanatkan bahwa laporan pertanggungjawaban APBN/APBD harus disusun dan disajikan sesuai dengan standar akuntansi Pemerintahan, dan standar tersebut disusun oleh suatu komite standar yang indenden dan ditetapkan dengan peraturan pemerintah. Selanjutnya, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharan Negara kembali mengamanatkan penyusunan laporan pertanggungjawaban pemerintah pusat dan daerah sesuai dengan standar akuntansi pemerintahan, bahkan mengamanatkan pembentukan komite yang bertugas menyusun standar akuntansi pemerintahan dengan keputusan presiden. Dalam penyusunan standar harus melalui langkah-langkah tertentu termasuk dengar pendapat (hearing), dan meminta pertimbangan mengenai substansi kepada BPK sebelum ditetapkan dalam peraturan pemerintah.



1.2  Rumusan Masalah

1.      Apakah  itu Standar Akuntansi Pemerintah ?

2.      Apakah penjelasan mengenai UU 17 tahun 2003 ?

3.      Apakah penjelasan mengenai UU 1 tahun 2004 ?

4.      Apakah penjelasan mengenai Permendagri 13 tahun 2006 ?

5.      Apakah penjelasan mengenai Permendagri 59 tahun 2007 ?

6.      Apakah penjelasan mengenai Permendagri 21 tahun 2011 ?

7.      Apakah penjelasan mengenai PSAK 45 ?

8.      Apakah penjelasan mengenai PP 24 tahun 2005 ?

9.      Apakah penjelasan mengenai PP 71 tahun 2010 ?

10.  Apakah penjelasan mengenai PP 58 tahun 2005 ?

11.  Apakah penjelasan mengenai PP 60 tahun 2008 ?



1.3  Tujuan

1.      Mengetahui apa itu Standar Akuntansi Pemerintah

2.      Mengetahui penjelasan mengenai UU 17 tahun 2003

3.      Mengetahui penjelasan mengenai UU 1 tahun 2004

4.      Mengetahui penjelasan mengenai Permendagri 13 tahun 2006

5.      Mengetahui penjelasan mengenai Permendagri 59 tahun 2007

6.      Mengetahui penjelasan mengenai Permendagri 21 tahun 2011

7.      Mengetahui penjelasan mengenai PSAK 45

8.      Mengetahui penjelasan mengenai PP 24 tahun 2005

9.      Mengetahui penjelasan mengenai PP 71 tahun 2010

10.  Mengetahui penjelasan mengenai PP 58 tahun 2005

11.  Mengetahui penjelasan mengenai PP 60 tahun 2008















BAB II

PEMBAHASAN



2.1 Pengertian Akuntansi Pemerintah

Menurut Indra Bastian (2007:15) akuntansi sektor publik dapat didefinisikan sebagai : “mekanisme teknis dan analisis akuntansi yang diterapkan pengelolaan dana masyarakat di lembaga-lembaga tinggi negara dan departemen-departemen di bawahnya, pemerintah daerah, BUMN, BUMD, LSM dan yayasan sosial, maupun pada proyek-proyek kerjasama sektor publik dan swasta”.

Standar Akuntansi Pemerintah adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan Laporan Keuangan Pemerintah yang terdiri atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) dan Laporan Keuangan Pemerintah Daerah (LKPD), dalam rangka akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi pemerintahan, serta peningkatan kualitas LKPP dan LKPD. SAP dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP), yaitu SAP yang diberi judul, nomor dan tanggal efektif.

Menurut Dedi Nordiawan (2006:35) akuntansi sektor publik adalah

“Proses pencatatan, pengklasifikasian, penganalisisan dan pelaporan transaksi keuangan dari suatu organisasi publik yang menyediakan informasi keuangan bagi para pemakai laporan keuangan yang berguna untuk pengambilan keputusan”

Dapat disimpulkan bahwa tujuan akuntansi pada pemerintahan adalah memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Selain itu, akuntansi pemerintahan mengacu pada penerapan teori, prinsip atau standar akuntansi pada organisasi yang tidak mencari laba, khususnya unit organisasi pemerintahan.



Ruang Lingkup Akuntansi Pemerintah

Mardiasmo (2006:01) mengatakan bahwa ruang lingkup akuntansi pemerintahan adalah mencakup akuntansi manajemen, sistem akuntansi keuangan, perencanaan keuangan dan pembangunan, sistem pengawasan dan pemeriksaan, serta berbagai implikasi finansial atas kebijakan-kebijakan yang dilakukan pemerintah.



Sektor publik sendiri memiliki wilayah yang lebih luas dan kompleks dibandingkan sektor swasta. Keluasan wilayah publik tidak hanya disebabkan luasnya jenis dan bentuk organisasi yangberada di dalamnya, akan tetapi juga karena kompleksnya lingkungan yang mempengaruhi lembaga-lembaga publik tersebut. Secara kelembagaan, sektor publik antara lain meliputi badan-badan pemerintahan (pemerintah pusat dan daerah serta unit kerja pemerintah), perusahaan milik negara (BUMN dan BUMD), yayasan, organisasi politik dan organisasi massa, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan organisasi nirlaba lainnya.



Jika dilihat dari variabel lingkungan, sektor publik dipengaruhi oleh beberapa faktor tidak hanya faktor ekonomi semata, akan tetapi faktor politik, sosial, budaya dan historis juga memiliki pengaruh yang signifikan karena sektor publik itu heterogen/tidak seragam.



Faktor-faktor yang Mempengaruhi Akuntansi Pemerintah

Dalam akuntansi pemerintahan, terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi timbulnya akuntansi pemerintahan sebagai berikut :

1. Sistem pemerintahan, dalam sistem monarki/kerajaan akuntansi pemerintahan banyak dipengaruhi oleh raja jika dibandingkan dengan parlemen. Di dalam sistem demokrasi parlementer atau presidensil, akuntansi pemerintahan banyak dipengaruhi oleh lembaga eksekutif dan legislative yang mengalami check and balances.



2. Sifat sumber daya, sumber daya akuntansi pemerintahan bersifat tidak berhubungan langsung denagn hasilnya. Seorang warga yang menyetorkan pajak, tidak mengharapkan kontra prestasi secara langsung dari kontribusinya tersebut. Berbeda dengan hal ini, pada akuntansi bisnis yang sumber dayanya terkait secara langsung dengan hasilnya, seperti adanya dividen.



3. Politik, akuntansi pemerintahan sangat dipengaruhi oleh politik. Sebagai contoh adalah anggaran yang sarat dengan aspek politik. Anggaran diartikan sebagai alat politik, maka dalam proses persetujuan anggaran, terjadi negosiasi politik antara lembaga legislative yang terdiri dari wakil partai politik dan pemerintah (biasanya pemenang proses politik pada suatu jangka waktu tertentu).



Tujuan Akuntansi Pemerintah

Menurut Deddi Nordiawan (2006:7) akuntansi pemerintahan mempunyai beberapa tujuan yaitu :

1. Tujuan pertanggungjawaban

2. Tujuan manajerial

3. Tujuan pengawasan



1. Tujuan pertanggungjawaban, dalam tujuan pertanggungjawaban pemerintah harus memberikan informasi keuangan secara lengkap, memberikan informasi keuangan secara cermat, dalam bentuk dan waktu yang tepat.



2. Tujuan manajerial, dalam tujuan manajerial, memberikan informasi keuangan untuk perencanaan, penganggaran, pelaksanaan, pemantauan, pengendalian anggaran, perumusan kebijakan, pengambilan keputusan, dan penilaian kinerja pemerintah adalah tujuan yang diharapkan dapat dicapai dengan adanya akuntansi pemerintah.



3. Tujuan pengawasan, memiliki arti bahwa informasi yang dihasilkan akuntansi pemerintahan harus memungkinkan untuk terselenggarakan pemeriksaan oleh aparat pengawas.



Dari keterangan tersebut di atas, diharapkan dengan adanya akuntansi pemerintah, mampu membangun hubungan kepercayaan yang baik antara pemerintah baik pusat maupun daerah dengan masyarakat melalui informasi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan tujuan untuk mensejahterakan masyarakat.





Karakteristik Akuntansi Pemerintah

Mardiasmo (2009:3) mengatakan karakteristik dari akuntansi pemerintahan adalah :



“Karakteristik akuntansi pemerintahan disebabkan karena adanya lingkungan yang mempengaruhi. Organisasi sektor publik bergerak dalam lingkungan kompleks dan turbulence”.



Komponen lingkungan yang mempengaruhi organisasi sektor publik meliputi beberapa faktor yaitu :



a. Faktor ekonomi

Faktor ekonomi yang mempengaruhi organisasi sektor publik tersebut adalah pertumbuhan ekonomi, tingkat inflasi, perubahan pendapatan perkapita (GNP/GDP), struktur produksi, tenaga kerja. Arus modal dalam negeri, cadangan devisa, nilai tukar mata uang, utang dan bantuan luar negeri, infrastruktur, teknologi, kemiskinan dan kesenjangan ekonomi dan sektor informal.



b. Faktor politik

Beberapa faktor politik yang mempengaruhi sektor publik adalah hubungan Negara dengan masyarakat, legitimasi pemerintah, tipe rezim yang berkuasa, ideologi Negara, elit politik dan massa, jaringan internasional dan kelembagaan.



c. Faktor kultural

Organisasi sektor publik dipengaruhi oleh beberapa faktor kultural yaitu keragaman suku, ras, agama, bahasa dan budaya. Selain itu, system nilai di masyarakat, historis, sosiologi masyarakat, karakteristik masyarakat dan tingkat pendidikan sangat mempengaruhi.



d. Faktor demografi

Faktor-faktor demografi yang mempengaruhi organisasi sektor publik antara lain pertumbuhan penduduk, struktur usia penduduk, migrasi dan tingkat kesehatan.



2.2 UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG KEUANGAN NEGARA



Pengertian (Pasal 1)

Dalam Pasal 1 Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, dijelaskan:

1.      Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD. 

2.      Kas Negara adalah tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara.

3.      Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat penyimpanan uang negara yang ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan membayar seluruh pengeluaran negara pada bank sentral.

4.      Kas Daerah adalah tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah.

5.      Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat penyimpanan uang daerah yang ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran daerah pada bank yang ditetapkan.

6.      Pejabat Pengelola Keuangan Daerah adalah kepala badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.

Ruang Lingkup (Pasal 2)

Perbendaharaan Negara, meliputi:

a. pelaksanaan pendapatan dan belanja negara;

b. pelaksanaan pendapatan dan belanja daerah;

c. pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara;

d. pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran daerah;

e. pengelolaan kas;

f. pengelolaan piutang dan utang negara/daerah;

g. pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah;

h. penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah;

i. peyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD;

j. penyelesaian kerugian negara/daerah;

k. pengelolaan Badan Layanan Umum;

l. perumusan standar, kebijakan, serta sistem dan prosedur yang berkaitan dengan pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD.

Asas Umum (Pasal 3)

 (1) Undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara.

(2) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.

(3) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pengeluaran atas beban APBN/APBD jika anggaran untuk membiayai pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia.

(4) Semua pengeluaran negara, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan program pemerintah pusat, dibiayai dengan APBN.

(5) Semua pengeluaran daerah, termasuk subsidi dan bantuan lainnya yang sesuai dengan program pemerintah daerah, dibiayai dengan APBD.

(6) Anggaran untuk membiayai pengeluaran yang sifatnya mendesak dan/atau tidak terduga disediakan dalam bagian anggaran tersendiri yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.

(7) Kelambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN/APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau bunga.

Pejabat Perbendaharaan Negara

Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan anggaran kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah Lembaga Pengguna Anggaran/Pengguna adalah :

a)      Menteri/pimpinan Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.

b)      Gubernur/bupati/walikota selaku Kepala Pemerintahan Daerah.

c)      Kepala satuan kerja perangkat daerah

Dalam Pasal 7 UU No. 17 Tahun 2003 bendahara umum negara adalah menteri keuangan, sedangkan bendahara umum daerah adalah Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah. Menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran yang disebut sebagai Pejabat Fungsional dan tidak boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau Kuasa Bendahara Umum Negara.

Pengelolaan Uang

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara membuka Rekening Kas Umum Negara untuk menyimpan uang negara pada bank sentral. Bendahara Umum Negara juga dapat membuka Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran pada bank umum yang setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral atau secara berkala.

Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran dapat membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan setelah memperoleh persetujuan dari Bendahara Umum Negara dan kemudian mengangkat bendahara untuk menatausahakan penerimaan negara di lingkungan kementerian negara/lembaga. 

Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan ijin pembukaan rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan pemerintah daerah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku dan juga mengangkat bendahara untuk menatausahakan penerimaan satuan kerja perangkat daerah di lingkungan pemerintah daerah yang dipimpinnya.

Pengelolaan Piutang Dan Utang

Penyelesaian piutang negara/daerah yang timbul sebagai akibat hubungan keperdataan dapat dilakukan melalui perdamaian, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang. Piutang negara/daerah dapat dihapuskan secara mutlak atau bersyarat dari pembukuan, kecuali mengenai piutang negara/daerah yang cara penyelesaiannya diatur tersendiri dalam undang-undang.

Menteri Keuangan dapat menunjuk pejabat untuk mengadakan utang negara atau menerima hibah yang berasal dari dalam negeri ataupun dari luar negeri sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan dalam Undang-undang APBN dan dapat diteruspinjamkan kepada Pemerintah Daerah/BUMN/BUMD.  Biaya berkenaan dengan proses pengadaan utang atau hibah dibebankan pada Anggaran Belanja Negara.

Gubernur/bupati/walikota dapat mengadakan utang daerah sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD. Biaya berkenaan dengan pinjaman dan hibah daerah dibebankan pada Anggaran Belanja Daerah.

Hak tagih mengenai utang atas beban negara/daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang. Kedaluwarsaan tertunda apabila pihak yang berpiutang mengajukan tagihan kepada negara/daerah sebelum berakhirnya masa kedaluwarsa. Tidak berlaku untuk pembayaran kewajiban bunga dan pokok pinjaman negara/daerah.

Pengelolaan Investasi (Psal 41)

Pemerintah dapat melakukan investasi jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial dan/atau manfaat lainnya yang dilakukan dalam bentuk saham, surat utang, dan investasi langsung dan diatur dengan peraturan pemerintah.

Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah (Pasal 42)

Menteri Keuangan mengatur pengelolaan barang milik negara. Menteri/pimpinan lembaga adalah Pengguna Barang bagi kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya. Kepala kantor dalam lingkungan kementerian negara/lembaga adalah Kuasa Pengguna Barang dalam lingkungan kantor yang bersangkutan. Pengguna Barang dan/atau Kuasa Pengguna Barang wajib mengelola dan menatausahakan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya dengan sebaik-baiknya.

Pertanggungjawaban Keuangan

Bendahara Penerimaan/Bendahara Pengeluaran bertanggung jawab secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya kepada Kuasa Bendahara Umum Negara/Bendahara Umum Daerah.  Kuasa Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya. Bendahara Umum Negara bertanggung jawab kepada Presiden dari segi hak dan ketaatan kepada peraturan atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya. Bendahara Umum Daerah bertanggung jawab kepada gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran yang dilakukannya. Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya. Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formal dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.

Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, dan Catatan atas Laporan Keuangan dilampiri laporan keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian negara/lembaga masing-masing yang disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat; Menteri Keuangan selaku wakil Pemerintah Pusat dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan menyusun ikhtisar laporan keuangan perusahaan negara yang disampaikan Presiden kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara adalah pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, yaitu berfungsi sekaligus sebagai kasir, pengawas keuangan, dan manajer keuangan. Fungsi pengawasan 8hanya dilakukan pada saat terjadinya penerimaan atau pengeluaran, sehingga berbeda dengan fungsi pre-audit yang dilakukan oleh kementerian teknis atau post-audit yang dilakukan oleh aparat pengawasan fungsional. Dengan demikian, dapat dijalankan salah satu prinsip pengendalian intern yang sangat penting dalam proses pelaksanaan anggaran, yaitu adanya pemisahan yang tegas antara pemegang kewenangan administratif (ordonnateur) dan pemegang fungsi pembayaran (comptable). Penerapan pola pemisahan kewenangan tersebut, yang merupakan salah satu kaidah yang baik dalam pengelolaan keuangan negara, telah mengalami ”deformasi” sehingga menjadi kurang efektif untuk mencegah dan/atau meminimalkan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara. Oleh karena itu, penerapan pola pemisahan tersebut harus dilakukan secara konsisten.

Penerapan kaidah pengelolaan keuangan yang sehat di lingkungan pemerintahan Sejalan dengan perkembangan kebutuhan pengelolaan keuangan negara, dirasakan pula semakin pentingnya fungsi perbendaharaan dalam rangka pengelolaan sumber daya keuangan pemerintah yang terbatas secara efisien. Fungsi perbendaharaan tersebut meliputi, terutama, perencanaan kas yang baik, pencegahan agar jangan sampai terjadi kebocoran dan penyimpangan, pencarian sumber pembiayaan yang paling murah dan pemanfaatan dana yang menganggur (idle cash) untuk meningkatkan nilai tambah sumber daya keuangan.

Upaya untuk menerapkan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan yang selama ini lebih banyak dilaksanakan di dunia usaha dalam pengelolaan keuangan pemerintah, tidaklah dimaksudkan untuk menyamakan pengelolaan keuangan sektor pemerintah dengan pengelolaan keuangan sektor swasta. Pada hakikatnya, negara adalah suatu lembaga politik. Dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan akuntansi pemerintahan dibentuk Komite Standar Akuntansi Pemerintahan yang bertugas menyusun standar akuntansi pemerintahan yang berlaku baik untuk Pemerintah Pusat maupun Pemerintah Daerah sesuai dengan kaidah-kaidah akuntansi yang berlaku umum dan ditetapkan dengan keputusan Presiden.

Penyelesaian Kerugian Negara

Untuk menghindari terjadinya kerugian keuangan negara/daerah akibat tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang, dalam Undang-undang Perbendaharaan Negara ini ditegaskan bahwa setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diganti oleh pihak yang bersalah. Dengan penyelesaian kerugian tersebut negara/daerah dapat dipulihkan dari kerugian yang telah terjadi dengan wajib segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian. Pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sedangkan pengenaan ganti kerugian negara/daerah terhadap

pegawai negeri bukan bendahara ditetapkan oleh menteri/pimpinan

lembaga/gubernur/bupati/walikota.

2.3  UU NO 1 TAHUN 2004 TENTANG PERBENDAHARAAN NEGARA



A.     Ketentuan Umum.

1.      Pengertian Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam APBN dan APBD.

2.      Ruang Lingkup Perbendaharaan Negara meliputi : a.Pelaksanaan pendapatan dan belanja negara. b.Pelaksanaan pendapatan dan belanja daerah. c.Pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran negara. d.Pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran daerah. e.Pengelolaan kas. f.Pengelolaan piutang dan utang negara/daerah. g.Pengelolaan investasi dan barang milik negara/daerah. h.Penyelenggaraan akuntansi dan sistem informasi manajemen keuangan negara/daerah. i.Penyusunan laporan pertanggungjawaban pelaksanaa APBN/APBD. j.Penyelesaian kerugian negara/daerah. k.Pengelolaan Badan Layanan Umum. l.Perumusan standar, kebijakan, sistem dan prosedur pengelolaan keuangan negara.

3.      Asas Umum Undang-undang Perbendaharaan Negara ini menganut asas kesatuan, asas

universalitas, asas tahunan dan asas spesialitas. Asas kesatuan : Semua pendapatan dan Belanja Negara/Daerah disajikan dalam satu dokumen negara.

Asas universalitas : Setiap transaksi keuangan ditampilkan secara utuh dalam dokumen anggaran.
Asas tahunan : Membatasi masa berlaku anggaran untuk suatu tahun tertentu. Asas spesialitas : Mewajibkan agar kredit anggaran yang disediakan terinci secara jelas peruntukkannya.

Selain itu undang-undang perbendaharaan ini memuat ketentuan yang mendorong profesionalitas, keterbukaan dan akuntabilitas dalam pelaksanaan anggaran.

B . Pejabat Perbendaharaan Negara.

·  Pejabat Perbendaharaan Negara adalah : a.Pengguna Anggaran/Barang Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah b.Bendahara Umum Negara/Daerah Menteri Keuangan/Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah. c.Bendahara Penerimaan/Pengeluaran pada Kementerian Negara/ Lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.

·  Pemisahan Kewenangan a.Kewenangan pengelolaan administratif (Administratief Beheer) yaitu kewenangan untuk pembuatan komitmen, pengujian dan pembebanan serta perintah pembayaran yang dipegang oleh Menteri Negara/Utusan Lembaga selaku pengguna anggara/barang. b.Kewenangan komptabel (Komptabel Beheer) yaitu kewenangan untuk pencairan dana yang dipegang oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara (BUN).

·  Kewenangan Menteri/Pimpinan Lembaga Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Barang berwenang : a.Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran. b.Menunjuk Kuasa Pengguna Anggaran/Barang. c.Menetapkan pejabat yang bertugas; melakukan pemungutan penerimaan negara. d.Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan utang dan piutang. e.Melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran anggaran belanja. f.Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengujian dan perintah pembayaran. g.Menggunakan barang milik ngara. h.Menetapkan pejabat yang bertugas melakukan pengelolaan barang milik negara. i.Mengawasi pelaksanaan anggaran. j.Menyusun dan menyampaikan laporan keuangan; kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya.

·  Kuasa Bendahara Umum Negara Menteri Keuangan selaku BUN mengangkat kuasa BUN untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah ditetapkan. Kepala Kantor Pelayanan Perbendaharaan Negara (KPPN) adalah selaku kuasa BUN.

·  Bendahara Penerimaan/Pengeluaran

a.Menteri/pimpinanlembaga/gubernur/bupati/walikota mengangkat Bendahara

Penerimaan/Bendahara Pengeluaran pada kantor/ satuan kerja dilingkungan kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah. b.Bendaraha Penerimaan/Pengeluaran adalah pejabat fungsional. c.Pejabat Bendahara

Penerimaan/Pengeluaran tidak boleh dirangkap oleh Kuasa Pengguna Anggaran atau kuasa BUN.



C .Pelaksanaan APBN.

·  Dokumen Pelaksanaan Anggaran a.Setelah APBN ditetapkan, Menteri Keuangan memberitahukan kepada semua menteri/pimpinan lembaga agar menyampaikan dokumen pelaksanaan anggaran untuk masing-masing kementerian negara/lembaga. b.Menteri/pimpinan lembaga menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh Presiden. c.Dokumen pelaksanaan anggaran menyertakan sasaran yang hendak dicapai, fungsi, program, kegiatan dan anggaran yang disediakan, rencana penarikan dana setiap satuan kerja serta pendapatan yagn diperkirakan. d.Dokumen pelaksanaan anggara dilampiri rencana kerja dan anggaran Badan Layana Umum dalam lingkungan kementerian negara bersangkutan. e.Dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan oleh Menteri Keuangan disampaikan kepada menteri/pimpinan lembaga kuasa BUN (KPPN) dan badan Pemeriksa Keuangan.

·  Pelaksanaan Anggaran Pendapatan Setiap Kementerian negara/lembaga/satuan kerja perangkat daerah wajib mengintensifkan perolehan pendapatan yang menjadi wewenang tanggungjawabnya : Penerimaan dimaksud harus disetor seluruhnya ke Kas Negara/Daerah pada waktunya yang selanjutnya diatur dalam peraturan pemerintah.

·  Pelaksanaan Anggaran Belanja a.Penggunan Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran sebagai pemegang kekuasaan administratif (Administratief Beheer) berhak menguji, membebankan pada suatu anggaran yang tidak disediakan dan memerintahkan pembayaran tagihan atas beban ABPN/APBD. b.Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara dalam pelaksanaan pembayaran wajib menguji dan memerintahkan pencairan dana sebagai dasar pengeluaran negara.

D .Pengelolaan Uang.

·  Penyelenggaraan Rekening Pemerintah a.Menteri Keuangan selaku BUN berwenang mengatur dan menyelenggarakan rekening pemeritah. b.Dalam rangka penyelenggaraan rekening pemerintah Menteri Keuangan membuka Rekening Kas Umum Negara. c.Uang negara disimpan dalam Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral. d.Dalam pelaksanaan operasional penerimaan dan pengeluaran negara, BUN dapat membuka Rekening Penerimaan dan Rekening Pengeluaran pada bank umum. e.Rekening Penerimaan digunakan untuk menampung pemerimaan negara setiap hari. f.Saldo Rekening Penerimaan setiap akhir hari kerja wajib disetorkan seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral. g.Rekening Pengeluaran pada kas bank umum diisi dengan dana yang bersumber dari Rekening Kas Umum Negara pada bank sentral.

·  Penyimpanan Uang Pemerintah pada bank sentral a.Pemerintah Pusat memperoleh bunga dan/atau giro atas dana yang disimpan pada bank sentral. b.Jenis dana, tingkat bunga, jasa giro serta biaya pelayanan bank sentral ditetapkan berdasarkan kesepakatan gubernur bank sentral dengan Menteri Keuangan.

·  Penyimpanan Uang Pemerintah pada Bank Umum a.Pemerintah Pusat/Daerah berhak memperoleh bunga dan/atau jasa giro atas dana yang disimpan pada bank umum. b.Bunga dan/atau jasa giro yang diperoleh Pemerintah Pusat/Daerah didasarkan pada tingkat suku bunga/jasa giro yang berlaku. c.Biaya pelayanan bank umum didasarkan pada ketentuan yang berlaku pada bank umum bersangkutan. d.Bunga/jasa giro yang diperoleh Pemerintah Pusat/Daerah merupakan pendapatan Negara/Daerah. e.Biaya palayanan bank umum dibebankan pada Belanja Negara/ Daerah.

·  Pelaksanaan Penerimaan Negara/Daerah a.Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran dapat membuka rekening untuk keperluan pelaksanaan penerimaan di lingkungan kementerian negara/lembaga yang bersangkutan setelah mendapat persetujuan dari Bendahara Umum Negara. b.Menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara untuk menatausahakan penerimaan negara dilingkungan kementerian negara/lembaga.

·  Pengelolaan Uang Persediaan Menteri/pimpinan lembaga mengangkat bendahara untuk mengelola uang yang harus dipertangungjawabkan dalam pelaksanaan pengeluaran kementerian negara/lembaga.



E .Pengelolaan Piutang. Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja dan kekayaan negara/daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang negara/daerah diselesaikan seluruhnya dan tepat waktu.

F .Pengelolaan Barang Milik Negara/Daerah.·  Pengelolaan dan penatausahaan Pengguna Barang/Kuasa Penggunan Barang wajib mengelola dan menatausahakan barang milik negara/daerah yang berada dalam penguasaannya dengan sebaikbaiknya.

·  Pemindahtanganan Barang Milik Negara

a.Barang milik negara/daerah yang diperlukan bagi penyelenggaraan tugas pemerintahan

negara/daerah tidak dapat dipindahtangankan

b.Pemindahtanganan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara dijual, dipertukarkan, dihibahkan atau disertakan sebagai modal pemerintah setelah mendapat persetujuan DPR/DPRD. c.Persetujuan DPR dilakukan untuk (1)pemindahtanganan tanah dan/atau bangunan (2)pemidahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai > Rp. 100 milyar.

d.Persetujuan Presiden dilakukan untuk pemindahtanganan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan yang bernilai > Rp. 10 milyar sampai dengan Rp. 100 milyar.
e.Persetujuan Menteri Keuangan diperlukan untuk pemindahan barang milik negara selain tanah dan/atau bangunan dengan nilai sampai dengan Rp. 10 milyar\

·  Penjualan Barang Milik Negara/Daerah Penjualan barang milik negara/daerah dilakukan dengan cara lelang, kecuali dalam hal-hal tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.

G .Penatausahaan dan Pertanggungjawaban APBN.

·  Akuntansi Keuangan Menteri/pimpinan lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah selaku Pengguna Anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset utang dan ekuitas dana termasuk transaksi pendapatan dan belanja yang berada dalam tanggung jawabnya

·  Penatausahaan Dokumen Setiap orang dan/atau badan yang menguasai dokumen berkaitan dengan perbendaharaan negara wajib menatausahakan dan memelihara dokumen tersebut dengan baik sesuai dengan peraturan perudang-undangan yang berlaku

·  Pertanggungjawaban Bendahara a.Bendahara Penerimaan/Pengeluaran bertangung jawab secara fungsional atas pengelolaan uang yang menjadi tanggungjawabnya kepada Kuasa Bendahara Umum Negara/Bendahara Umum Daerah. b.Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formla dan material kepada Presiden/gubernur/bupati/walikota atas pelaksanaan kebijakan anggaran yang berada dalam penguasaannya. c.Kuasa Pengguna Anggaran bertanggung jawab secara formla dan material kepada Pengguna Anggaran atas pelaksanaan kegiatan yang berada dalam penguasaannya.

·  Laporan Keuangan a.Menteri Keuangan menyusun Laporan Keuangan Pusat untuk disampaikan kepada Presiden dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBN. b.Dalam menyusun Laporan Keuangan Pemerintah Pusat : (1)Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Barang menyusun dan menyampaikan laporan keuangan yang meliputi Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Catatan atas Laporan Keuangan, dilampiri Laporan Keuangan Badan Layanan Umum pada kementerian negara/lembaga masing-masing. (2)Laporan Keuangan dimaksud disampaikan kepada Menteri Keuangan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir. (3)Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menyusun Laporan Arus Kas Pemerintah Pusat. c.Laporan Keuangan Pemerintah Puat disampaikan Presiden kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir. d.Menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBN telah diselenggarakan berdasarkan sistem pengendalian intern yang memadai dan akuntansi keuangan telah diselenggarakan sesuai dengan standar akuntansi pemerintah.

·  Penyelesaian Keuangan Negara a.Setiap kerugian negara/daerah yang disebabkan oleh tindakan melanggar hukum atau kelalaian seseorang harus diselesaikan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. b.Bendahara, pegawai negeri bukan bendahara atau pejabat lain yang karena perbuatannya melanggar hukum atau melalaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya secara langsung merugikan keuangan negara wajib mengganti kerugian tersebut. c.Setiap pimpinan kementerian negara/lembaga/kepala satuan kerja perangkat daerah dapat segera melakukan tuntutan ganti rugi setelah mengetahui bahwa dalam kementerian negara/lembaga/ satuan kerja perangkat daerah yang bersangkutan terjadi kerugian akibat perbuatan dari pihak manapun. d.Setiap kerugian negara wajib dilaporkan oleh atasan langsung atau kepada kantor kepada menteri/pimpinan lembaga dan memberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan selambatlambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah kerugian negara itu diketahui. e.Pengenaan ganti rugi negara/daerah terhadap bendahara ditetapkan oleh Badan Pemeriksa Keuangan. f.Ketentuan lebih lanjut tentang pengeluaran ganti kerugian negara terhadap bendahara diatur dalam undang-undang mengenai pemeriksaan pengelolaan dan tanggung jawab keuangan negara. g.Pengenaan ganti rugi negara/daerah terhadap pegawai



H  . Larangan Penyitaan Uang dan Barang Milik Negara/Daerah dan/atau yang Dikuasai Negara/Daerah.
Menyebutkan barang milik negara apa saja yang tidak boleh disita oleh pihak luar.

I .Pengendalian Intern Pemerintah.

J .Penyelesaian Keuangan Negara.

K .Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (BLU).

·  Rencana Kerja dan anggaran serta laporan keuangan dan Kinerja BLU disusun dan disajikan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari rencana kerja dan anggaran (RKA) serta laporan keuangan dan kinerja Kementerian negara/lembaga/Pemerintah Daerah.

·  Pendapatan dan belanja BLU dalam rencana kerja dan anggaran tahunan dikonsolidasikan dalam RKA Kementerian Negara/lembaga/ Pemerintah Daerah.

·  Pendapatan BLU sehubungan dengan jasa layanan yang diberikan merupakan pendapatan negara/daerah.

·  Pendapatan dimaksud dapat digunakan langsung untuk membiayai belanja BLU bersangkutan.



2.4  PERMENDAGRI NO 13 TAHUN 2006

PERMENDAGRI NO 13 TAHUN 2006 mengatur tentang PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Ruang Lingkup dari PERMENDAGRI NO 13 TAHUN 2006, yaitu :

a.       hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi daerah serta melakukan pinjaman;

b.      kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan pemerintahan daerah dan membayar tagihan pihak ketiga;

c.       penerimaan daerah;

d.      pengeluaran daerah;

e.       kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah; dan

f.       kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum.

Standar Akuntansi Pemerintah Daerah diatur dalam PERMENDAGRI NO 13 TAHUN 2006 pada bab XI tentang akuntansi keuangan daerah yaitu bagian pertama (sistem akuntansi) dan bagian kedua (kebijakan akuntansi).

Bagian Pertama

Sistem Akuntansi



Pasal 232

1)      Entitas pelaporan dan entitas akuntansi menyelenggarakan sistem akuntansi pemerintahan daerah.

2)      Sistem akuntansi pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah mengacu pada peraturan daerah tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah.

3)      Sistem akuntansi pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi serangkaian prosedur mulai dari proses pengumpulan data, pencatatan, pengikhtisaran, sampai dengan pelaporan keuangan dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD yang dapat dilakukan secara manual atau menggunakan aplikasi komputer.

4)      Proses sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didokumentasikan dalam bentuk buku jurnal dan buku besar, dan apabila diperlukan ditambah dengan buku besar pembantu.

5)      Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), entitas pelaporan menyusun laporan keuangan yang meliputi:

a.       laporan realisasi anggaran;

b.      neraca;

c.       laporan arus kas; dan

d.      catatan atas laporan keuangan.

6)      Dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (3), entitas akuntansi menyusun laporan keuangan yang meliputi:

a.       laporan realisasi anggaran;

b.      neraca; dan

c.       catatan atas laporan keuangan.



Pasal 233

1)      Sistem akuntansi pemerintahan daerah sekurang-kurangnya meliputi:

a.       prosedur akuntansi penerimaan kas;

b.      prosedur akuntansi pengeluaran kas;

c.       prosedur akuntansi aset tetap/barang milik daerah; dan

d.      prosedur akuntansi selain kas.

2)      Sistem akuntansi pemerintahan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dengan berpedoman pada prinsip pengendalian intern sesuai dengan peraturan pemerintah yang mengatur tentang pengendalian internal dan peraturan pemerintah tentang standar akuntansi pemerintahan.



Pasal 234

1)      Sistem akuntansi pemerintahan daerah dilaksanakan oleh PPKD.

2)      Sistem akuntansi SKPD dilaksanakan oleh PPK-SKPD.

3)      PPK-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) mengkoordinasikan pelaksanaan sistem dan prosedur penatausahaan bendahara penerimaan dan bendahara pengeluaran.



Pasal 235

1)        Kode rekening untuk menyusun neraca terdiri dari kode akun aset, kode akun kewajiban, dan kode akun ekuitas dana.

2)        Kode rekening untuk menyusun laporan realisasi anggaran terdiri dari kode akun pendapatan, kode akun belanja, dan kode akun pembiayaan.

3)        Kode rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dengan memperhatikan kepentingan penyusunan laporan statistik keuangan daerah/negara.



Pasal 236

1)        Semua transaksi dan/atau kejadian keuangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah dicatat pada buku jurnal berdasarkan bukti transaksi yang sah.

2)        Pencatatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara kronologis sesuai dengan terjadinya transaksi dan/atau kejadian keuangan.



Pasal 237

1)        Transaksi atau kejadian keuangan yang telah dicatat dalam buku jurnal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 235 ayat (1) selanjutnya secara periodik diposting ke dalam buku besar sesuai dengan rekening berkenaan.

2)        Buku besar sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditutup dan diringkas pada setiap akhir periode sesuai dengan kebutuhan.

3)        Saldo akhir setiap periode dipindahkan menjadi saldo awal periode berikutnya.



Pasal 238

1)        Buku besar dapat dilengkapi dengan buku besar pembantu sebagai alat uji silang dan kelengkapan informasi rekening tertentu.

2)        Buku besar pembantu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berisi rincian akun yang telah dicatat dalam buku besar.



Bagian KeduaKebijakan Akuntansi


Pasal 239

1)        Kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi pemerintah daerah dengan berpedoman pada standar akuntansi pemerintahan.

2)        Kebijakan akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar pengakuan, pengukuran dan pelaporan atas aset, kewajiban, ekuitas, pendapatan, belanja, dan pembiayaan serta laporan keuangan.

3)        Peraturan kepala daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sekurang­kurangnya memuat:

a.   definisi, pengakuan, pengukuran dan pelaporan setiap akun dalam laporan keuangan;

b.   prinsip-prinsip penyusunan dan penyajian pelaporan keuangan.

4)        Dalam pengakuan dan pengukuran sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a juga mencakup kebijakan mengenai harga perolehan dan kapitalisasi aset.

5)        Kebijakan harga perolehan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pengakuan terhadap jumlah kas/setara kas yang dibayarkan terdiri dari belanja modal, belanja administrasi pembelian/pembangunan, belanja pengiriman, pajak, dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai komponen harga perolehan aset tetap.

6)        Kebijakan kapitalisasi aset sebagaimana dimaksud pada ayat (4) merupakan pengakuan terhadap jumlah kas/setara kas dan nilai wajar imbalan lainnya yang dibayarkan sebagai penambah nilai aset tetap.

7)        Ikhtisar kebijakan akuntansi yang diberlakukan pada setiap tahun anggaran dimuat dalam catatan atas laporan keuangan tahun anggaran berkenaan.



Pasal 240

1)        Pemerintah daerah sebagai entitas pelaporan menyusun laporan keuangan pemerintah daerah.

2)        Kepala SKPD sebagai entitas akuntansi menyusun laporan keuangan SKPD yang disampaikan kepada PPKD untuk digabung menjadi laporan keuangan pemerintah daerah.

3)        Kepala BLUD sebagai entitas akuntansi menyusun laporan keuangan BLUD yang disampaikan kepada PPKD untuk digabung ke dalam laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

4)        Kepala BLUD sebagai entitas pelaporan menyusun laporan keuangan BLUD yang disampaikan kepada kepala daerah dan diaudit oleh pemeriksa ekstern sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



2.5   PERMENDAGRI NO 59 TAHUN 2007

 PERMENDAGRI NO 59 TAHUN 2007 mengatur tentang PERUBAHAN    ATAS PERATURAN MENTERI DALAM NEGERI NOMOR 13 TAHUN 2006 TENTANG PEDOMAN PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH. Secara garis besar beberapa perubahan atas Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah melalui PERMENDAGRI NO 59 TAHUN 2007 atas PERMENDAGRI NO 13 TAHUN 2006 dapat diklasifikasi menjadi empat (4) macam perubahan yang terdiri dari:

1.      PENGHAPUSAN PASAL TERMASUK BAGIAN-BAGIANNYA

2.      PERUBAHAN BUNYI PASAL TERMASUK BAGIAN-BAGIANNYA

3.      PENYISIPAN PASAL TERMASUK BAGIAN-BAGIANNYA

4.      PENAMBAHAN PASAL TERMASUK BAGIAN-BAGIANNYA

Banyaknya perubahan yang dilakukan oleh PERMENDAGRI NO 59 TAHUN 2007 terhadap PERMENDAGRI N0 13 TAHUN 2006, secara keseluruhan (baik yang berupa: penghapusan, perubahan, penyisipan maupun penambahan pasal)  adalah  sebanyak  lima puluh tiga (53) item.



·           Perubahan Terhadap Bab I Tentang Ketentuan Umum

a.      PENGHAPUSAN PASAL

Penghapusan terhadap Pasal 1 angka 33 yang semula berbunyi:

Prioritas dan Plafon Anggaran yang selanjutnya disingkat PPA adalah program prioritas dan patokan batas maksimal anggaran yang diberikan kepada SKPD untuk setiap program sebagai acuan dalam penyusunan AKA-SKPD setelah disepakati dengan DPRD.

Penghapusan terhadap pasal tersebut membawa dampak pada terjadinya perubahan pada Bab IV tentang Penyusunan Rancangan APBD yang tertuang pada Bagian Ketiga tentang Kebijakan Umum APBD serta Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara terutama pada pasal 83 sampai dengan pasal 88.



b.      PENYISIPAN

Penyisipan pada Pasal 1 angka 34a.         Sehingga berbunyi:

Rencana Kerja dan Anggaran Pejabat Pengelola Keuangan Daerah yang selanjutnya disingkat RKA-PPKD adalah rencana kerja dan anggaran badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan selaku Bendahara Umum Daerah.

·           Perubahan Terhadap Bab II Tentang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah

a.      PENYISIPAN PASAL

Penyisipan atas ayat (3a) dari pasal 11 yang berbunyi:

Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), meliputi: melakukan tindakan yang mengakibatkan pengeluaran atas beban anggaran belanja; melaksanakan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; melakukan pengujian atas tagihan dan memerintahkan pembayaran; mengadakan ikatan/perjanjian kerjasama dengan pihak lain dalam batas anggaran yang telah ditetapkan; menandatangani SPM-LS dan SPM-TU; mengawasi pelaksanaan anggaran unit kerja yang dipimpinnya; dan melaksanakan tugas-tugas kuasa pengguna anggaran lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh pejabat pengguna anggaran. Pasal ini mengantarai Pasal 3 dan Pasal 4 dari ayat 11

b.      PERUBAHAN PASAL 11

Perubahan Pasal 11 ayat (2) sehingga berbunyi:

Pelimpahan sebagian kewenangan sebagaimana tersebut pada ayat (1) berdasarkan pertimbangan tingkatan daerah, besaran SKPD, besaran jumlah uang yang dikelola, beban kerja, lokasi, kompetensi, rentang kendali, dan/atau pertimbangan objektif lainnya.

c.       PERUBAHAN PASAL 14

Perubahan Pasal 14 ayat (4) sehingga berbunyi:

Dalam hal PA melimpahkan sebagian kewenangannya kepada KPA, kepala daerah menetapkan bendahara penerimaan pembantu dan bendahara pengeluaran pembantu pada unit kerja terkait.

·           Perubahan Terhadap Bab III Tentang Azaz Umum Dan Struktur APBD

a.      PERUBAHAN PASAL

Perubahan Pasal 26 Ayat (4) huruf a sehingga berbunyi:

hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan secara tunai atau angsuran/cicilan.

b.      PENGHAPUSAN

Penghapusan Pasal 26 Ayat (4) huruf n yang berbunyi:

n. Pendapatan dari angsuran/cicilan penjualan

c.       PENAMBAHAN

Pasal 26 huruf o terjadi penambahan sehingga berbunyi:

o. Pendapatan dari Badan Layanan Umum Daerah (BULD)

d.      PERUBAHAN PASAL

Perubahan Pasal 39 Ayat (1), (2) dan (8) sehingga berbunyi:

-          Perubahan Ayat (1) sehingga berbunyi:

Pemerintah daerah dapat memberikan tambahan penghasilan kepada pegawai negeri sipil berdasarkan pertimbangan yang obyektif dengan memperhatikan kemampuan keuangan daerah dan memperoleh persetujuan DPRD sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

-          Perubahan Ayat (2) sehingga berbunyi:

Tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan dalam rangka peningkatan kesejahteraan pegawai berdasarkan beban kerja, tempat bertugas, kondisi kerja, kelangkaan profesi, prestasi kerja, dan/atau pertimbangan objektif lainnya.

-          Perubahan Ayat (8) sehingga berbunyi:

Kriteria pemberian tambahan penghasilan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah.

e.       PENYISIPAN PASAL

-          Terdapat penyisipan Pasal 39 Ayat (1a) sehingga berbunyi:

(1a) Persetujuan DPRD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan pada pembahasan KUA.

-          Terdapat penyisipan Pasal 39 Ayat (7ª) sehingga berbunyi:

(7a)Tambahan penghasilan berdasarkan pertimbangan objektif lainnya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dalam rangka peningkatan kesejahteraan umum pegawai, seperti pemberian uang makan.

·           Perubahan Terhadap Bab Tentang Penyusunan Rancangan APBD Bagian Ketiga Kebijakan Umum APBD Serta Prioritas Dan Plafon Anggaran Sementara

a.      PERUBAHAN PASAL

Perubahan Pasal Pasal 83 sampai dan pasal 89 sehingga berbunyi:

      Pasal 83

     Kepala daerah menyusun rancangan KUA dan rancangan PPAS berdasarkan RKPD dan pedoman penyusunan APBD yang ditetapkan Menteri Dalam Negeri setiap tahun.

     Pedoman penyusunan APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat antara lain:

      pokok-pokok kebijakan yang memuat sinkronisasi kebijakan pemerintah dengan pemerintah daerah;

      prinsip dan kebijakan penyusunan APBD tahun anggaran berkenaan;

      teknis penyusunan APBD; dan

      hal-hal khusus lainnya.

      Pasal 89

Ketentuan Pasal 89 Ayat (2) huruf a, huruf b diubah dan huruf d dihapus, sehingga Pasal 89 berbunyi:

      Berdasarkan nota kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 88 ayat (1), TAPD menyiapkan rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagai acuan kepala SKPD dalam menyusun RKA-SKPD.

      Rancangan surat edaran kepala daerah tentang pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup:

     prioritas pembangunan daerah dan program/kegiatan yang terkait;

     alokasi plafon anggaran sementara untuk setiap program/kegiatan SKPD;

     batas waktu penyampaian RKA-SKPD kepada PPKD;

     dihapus;

     dokumen sebagai lampiran surat edaran meliputi KUA, PPAS, analisis standar belanja dan standar satuan harga.

      Surat edaran kepala daerah perihal pedoman penyusunan RKA-SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diterbitkan paling lambat awal bulan Agustus tahun anggaran berjalan.

2.6 Peraturan Menteri Dalam Negeri Tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan     Menteri Dalam Negeri Nomor 21 Tahun 2011 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah

Pasal 10A

Dalam rangka pengadaan barang/jasa, Pengguna Anggaran bertindak sebagai Pejabat Pembuat Komitmen sesuai peraturan perundang-undangan di bidang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.

Pasal 11

(1)               Pejabat pengguna anggaran/pengguna barang dalam melaksanakan tugas-tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/kuasa pengguna barang.



Pasal 45

(1)               Belanja bantuan sosial sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf e digunakan untuk menganggarkan pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan dalam bentuk uang dan/atau barang kepada kelompok/anggota masyarakat.

(2)                Bantuan sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan secara selektif, tidak terus menerus/tidak mengikat serta memiliki kejelasan peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan keputusan kepala daerah.



Pasal 47

(1)               Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 huruf g digunakan untuk menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau khusus dari provinsi kepada kabupaten/kota, pemerintah desa, dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah kabupaten/kota kepada pemerintah desa, dan pemerintah daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan kemampuan keuangan dan kepada partai politik.



Pasal 52

(1)               Belanja barang/jasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50 huruf b digunakan untuk menganggarkan pengadaan barang dan jasa yang nilai manfaatnya kurang dari 12 (duabelas) bulan dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan daerah, termasuk barang yang akan diserahkan atau dijual kepada masyarakat atau pihak ketiga.



Pasal 54A

(1)               Kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 54 dapat mengikat dana anggaran:

a.     untuk 1 (satu) tahun anggaran; atau

b.    lebih dari 1 (satu) tahun anggaran dalam bentuk kegiatan tahun jamak sesuai peraturan perundang-undangan.

(2)               Kegiatan tahun jamak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b harus memenuhi kriteria sekurang-kurangnya:

a.     pekerjaan konstruksi atas pelaksanaan kegiatan yang secara teknis merupakan satu kesatuan untuk menghasilkan satu output yang memerlukan waktu penyelesaian lebih dari 12 (duabelas) bulan; atau

b.    pekerjaan atas pelaksanaan kegiatan yang menurut sifatnya harus tetap berlangsung pada pergantian tahun anggaran seperti penanaman benih/bibit, penghijauan, pelayanan perintis laut/udara, makanan dan obat di rumah sakit, layanan pembuangan sampah dan pengadaan jasa cleaning service.



Pasal 66

Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 60 ayat (1) huruf c digunakan antara lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.



Pasal 71

(1)               Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas dan beresiko rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (duabelas) bulan.

(3)               Investasi jangka panjang digunakan untuk menampung penganggaran investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 (duabelas) bulan yang terdiri dari investasi permanen dan non-permanen.



Pasal 86

Rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 83 ayat (1) disusun dengan tahapan sebagai berikut:

a.                   menentukan skala prioritas pembangunan daerah;

b.                  menentukan prioritas program untuk masing-masing urusan yang disinkronisasikan dengan prioritas dan program nasional yang tercantum dalam Rencana Kerja Pemerintah setiap tahun; dan

c.                   menyusun plafon anggaran sementara untuk masing-masing program/kegiatan.



Pasal 87

(1)               Rancangan KUA dan rancangan PPAS sebagaimana dimaksud dalam Pasal 84 ayat (2) disampaikan kepala daerah kepada DPRD paling lambat pertengahan bulan Juni tahun anggaran berjalan untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.



Pasal 102

(1)               Rancangan peraturan kepala daerah tentang penjabaran APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 ayat (1) dilengkapi dengan lampiran yang terdiri atas:

a.                   ringkasan penjabaran APBD; dan

b.                  penjabaran APBD menurut urusan pemerintahan daerah, organisasi, program, kegiatan, kelompok, jenis, obyek, rincian obyek pendapatan, belanja dan pembiayaan.



Pasal 106

(1)               Apabila DPRD sampai batas waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105 ayat (3c) tidak menetapkan persetujuan bersama dengan kepala daerah terhadap rancangan peraturan daerah tentang APBD, kepala daerah melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran sebelumnya.



Pasal 123A

(1)               Pada SKPKD disusun DPA-SKPD dan DPA-PPKD.



Pasal 161

(1)               Saldo anggaran lebih tahun sebelumnya merupakan sisa lebih perhitungan tahun anggaran sebelumnya.

(3)               Penggunaan saldo anggaran tahun sebelumnya untuk pendanaan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf b, huruf c, dan huruf f diformulasikan terlebih dahulu dalam DPPA-SKPD.

(4)               Penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk mendanai pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf d diformulasikan terlebih dahulu dalam DPAL-SKPD.

(5)               Penggunaan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya untuk mendanai pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf e diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD.



Pasal 162

(2)               Dalam keadaan darurat, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD.

(3)               Pendanaan keadaan darurat yang belum tersedia anggarannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dapat menggunakan belanja tidak terduga.

(4)               Dalam hal belanja tidak terduga tidak mencukupi dapat dilakukan dengan cara:

a.                   menggunakan dana dari hasil penjadwalan ulang capaian target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan; dan/atau

b.                  memanfaatkan uang kas yang tersedia.

(7)          Penjadwalan ulang capaian target kinerja program dan kegiatan lainnya dalam tahun anggaran berjalan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) huruf a diformulasikan terlebih dahulu dalam DPPA-SKPD.

(9)                        Dalam hal keadaan darurat terjadi setelah ditetapkannya perubahan APBD, pemerintah daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya, dan pengeluaran tersebut disampaikan dalam laporan realisasi anggaran.

(10)                    Dasar pengeluaran untuk kegiatan-kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (9) diformulasikan terlebih dahulu dalam RKA-SKPD untuk dijadikan dasar pengesahan DPA-SKPD oleh PPKD setelah memperoleh persetujuan sekretaris daerah.



Pasal 293

(1)               Laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 292 disampaikan kepada DPRD dan Menteri Dalam Negeri paling lambat akhir bulan Juli tahun anggaran berkenaan.



Pasal 296A

Laporan realisasi anggaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 296 ayat (3) huruf a, disampaikan oleh kepala daerah kepada Menteri Dalam Negeri paling lambat 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.



Pasal 324

(1)               Kepala daerah dapat menetapkan SKPD atau Unit Kerja pada SKPD yang tugas dan fungsinya bersifat operasional dalam menyelenggarakan pelayanan umum dengan menerapkan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.



2.7  PSAK 45

          Karakteristik entitas nirlaba berbeda dengan entitas bisnis. Perbedaan utama yang mendasar terletak pada cara entitas nirlaba memperoleh sumber daya yang dibutuhkan untuk melakukan berbagai aktivitas operasinya.  Entitas nirlaba memperoleh sumber daya dari sumbangan para anggota dan para penyumbang lain yang tidak mengharapkan imbalan apapun dari entitas nirlaba tersebut (sumbangan) jarang ada interaksi bisnis. Pada beberapa bentuk entitas nirlaba, meskipun tidak ada kepemilikan, entitas nirlaba tersebut mendanai kebutuhan modalnya dari utang, dan kebutuhan operasinya dari pendapatan atas jasa yang diberikan kepada publik. Akibatnya, pengukuran jumlah, saat, dan kepastian aliran kas masuk menjadi ukuran kinerja penting bagi para pengguna laporan keuangan entitas nirlaba tersebut, seperti kreditor dan pemasok dana lainnya untuk menilai:

(a) jasa yang diberikan oleh entitas nirlaba dan kemampuannya untuk terus memberikan jasa tersebut;

 (b) cara manajer melaksanakan tanggung jawabnya dan aspek kinerja manajer

A. Ruang Lingkup

01. Pernyataan ini berlaku bagi laporan keuangan yangdisajikan oleh entitas nirlaba yang memenuhi karakteristiksebagai berikut:

(a)  Sumber daya entitas nirlaba berasal dari para penyumbangyang tidak mengharapkan pembayaran kembali ataumanfaat ekonomi yang sebanding dengan jumlah sumberdaya yang diberikan.

(b)  Menghasilkan barang dan/atau jasa tanpa bertujuanmemupuk laba, dan jika entitas nirlaba menghasilkan laba,maka jumlahnya tidak dibagikan kepada para pendiri ataupemilik entitas nirlaba tersebut.

(c)  Tidak ada kepemilikan seperti lazimnya pada entitasbisnis, dalam arti bahwa kepemilikan dalam entitas.nirlaba tidak dapat dijual, dialihkan, atau ditebus kembali, atau kepemilikan tersebut tidak mencerminkan proporsipembagian sumber daya entitas nirlaba pada saat likuidasiatau pembubaran entitas nirlaba.

02. Pernyataan ini dapat diterapkan oleh lembaga pemerintah, dan unit-unit sejenis lainnya sepanjang tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

03. Laporan keuangan untuk entitas nirlaba terdiri atas laporan posisi keuangan (neraca), laporan aktivitas, laporan arus kas, dan catatan atas laporan keuangan. Laporan keuangan tersebut berbeda dengan laporan keuangan untuk entitas bisnis pada umumnya.

04. Pernyataan ini menetapkan informasi dasar tertentu yang disajikan dalam laporan keuangan entitas nirlaba. Pengaturan yang tidak diatur dalam Pernyataan ini mengacu pada SAK, atau SAK ETAP untuk entitas yang tidak memiliki akuntabilitas publik signifikan.



B.     Laporan Keuangan Entitas Nirlaba

1) Tujuan Laporan Keuangan

06. Menyediakaninformasi yang relevan untuk memenuhi kepentingan parapenyumbang, anggota entitas nirlaba, kreditor, dan pihak lainyang menyediakan sumber daya bagi entitas nirlaba.

08. Secara rinci, tujuan laporan keuangan, termasuk catatan atas laporan keuangan, adalah untuk menyajikan informasi mengenai:(a) jumlah dan sifat aset, liabilitas, dan aset neto entitas nirlaba; (b)  pengaruh transaksi, peristiwa, dan situasi lainnya yang mengubah nilai dan sifat aset neto; (c)  jenis dan jumlah arus masuk dan arus keluar sumber daya dalam satu periode dan hubungan antara keduanya; (d)  cara entitas nirlaba mendapatkan dan membelanjakan kas, memperoleh pinjaman dan melunasi pinjaman, dan faktor lainnya yang berpengaruh pada likuiditasnya;(e) usaha jasa entitas nirlaba. Setiap laporan keuangan menyediakan informasi yang berbeda, dan informasi dalam laporan keuangan biasanya melengkapi informasi dalam laporan keuangan yang lain.



2) Laporan Keuangan Entitas Nirlaba

09. Laporan keuangan entitas nirlaba meliputi laporan posisi keuangan (neraca) pada akhir periode laporan, laporan aktivitas serta laporan arus kas untuk suatu periode pelaporan, dan catatan atas laporan keuangan.

·         Laporan Posisi Keuangan

a. Tujuan Laporan Posisi Keuangan

10. menyediakan informasi mengenai aset, liabilitas, serta aset neto dan informasi mengenai hubungan di antara unsur- unsur tersebut pada waktu tertentu. Informasi dalam laporan posisi keuangan yang digunakan bersama pengungkapan, dan informasi dalam laporan keuangan lainnya dapat membantu para penyumbang, anggota entitas nirlaba, kreditor, dan pihak- pihak lain untuk menilai: (a) kemampuan entitas nirlaba untuk memberikan jasa secara berkelanjutan; dan (b)  likuiditas, fleksibilitas keuangan, kemampuan untuk memenuhi kewajibannya, dan kebutuhan pendanaan eksternal. Laporan posisi keuangan mencakup entitas nirlaba secara keseluruhan dan menyajikan total aset, liabilitas, dan aset neto.

13. Informasi likuiditas diberikan dengan cara sebagai berikut: (a)  menyajikan aset berdasarkan urutan likuiditas, dan liabilitas berdasarkan tanggal jatuh tempo; (b)  mengelompokkan aset ke dalam lancar dan tidak lancar, dan liabilitas ke dalam jangka pendek dan jangka panjang; (c)  mengungkapkan informasi mengenai likuiditas aset atau saat jatuh temponya liabilitas, termasuk pembatasan penggunaan aset, pada catatan atas laporan keuangan.

b. Klasifikasi Aset Neto Terikat atau Tidak Terikat

14. Laporan posisi keuangan menyajikan jumlah masing-masing kelompok aset neto berdasarkan ada atau tidaknya pembatasan oleh penyumbang, yaitu: terikat secara permanen, terikat secara temporer, dan tidak terikat.

15. Informasi mengenai sifat dan jumlah dari pembatasan permanen atau temporer diungkapkan dengan cara menyajikan jumlah tersebut dalam laporan keuangan atau dalam catatan atas laporan keuangan.

·         Laporan Aktivitas

a. Tujuan Laporan Aktivitas

20. Laporan aktivitas mencakup entitas nirlaba secara keseluruhan dan menyajikan perubahan jumlah aset neto selama suatu periode. Perubahan aset neto dalam laporan aktivitas tercermin pada aset neto atau ekuitas dalam posisi keuangan.

b. Perubahan Kelompok Aset Neto

21. Laporan aktivitas menyajikan jumlah perubahan aset neto terikat permanen, terikat temporer, dan tidak terikat dalam suatu periode.

c. Klasifikasi Pendapatan, Beban, Keuntungan dan Kerugian

23. Laporan aktivitas menyajikan pendapatan sebagai penambah aset neto tidak terikat, kecuali jika penggunaannya dibatasi oleh penyumbang, dan menyajikan beban sebagai pengurang aset neto tidak terikat.

24.Sumbangan disajikan sebagai penambah aset neto tidak terikat, terikat permanen, atau terikat temporer, bergantung pada ada tidaknya pembatasan. Dalam hal sumbangan terikat yang pembatasannya tidak berlaku lagi dalam periode yang sama, dapat disajikan sebagai sumbangan tidak terikat sepanjang disajikan secara konsisten dan diungkapkan sebagai kebijakan akuntansi

25. Laporan aktivitas menyajikan keuntungan dan kerugian yang diakui dari investasi dan aset lain (atau liabilitas) sebagai penambah atau pengurang aset neto tidak terikat, kecuali jika penggunaannya dibatasi.

27.Laporan aktivitas menyajikan jumlah pendapatan dan beban secara bruto, kecuali diatur berbeda oleh SAK lain atau SAK ETAP.

d. Informasi Pemberian Jasa

29. Laporan aktivitas atau catatan atas laporan keuangan harus menyajikan informasi mengenai beban menurut klasifikasi fungsional, seperti menurut kelompok program jasa utama dan aktivitas pendukung.

·         Laporan Arus Kas

a.       Tujuan Laporan Arus Kas

33. Tujuan utama laporan arus kas adalah menyajikan informasi mengenai penerimaan dan pengeluaran kas dalam suatu periode.

b. Klasifikasi Penerimaan dan Pengeluaran Kas

34. Laporan arus kas disajikan sesuai PSAK 2 (revisi 2009): Laporan Arus Kas dengan tambahan berikut ini:

(a)  Aktivitas pendanaan:

(i).  penerimaan kas  dari  penyumbang  yang penggunaannya dibatasi untuk jangka panjang.

(ii). penerimaan kas dari sumbangan dan penghasilan investasi yang penggunaannya dibatasi untuk pemerolehan, pembangunan dan pemeliharaan aset tetap, atau peningkatan dana abadi.

(iii). bunga dan dividen yang dibatasi penggunaannya untuk jangka panjang.

(b)  Pengungkapan informasi mengenai aktivitas investasi dan pendanaan nonkas: sumbangan berupa bangunan atau aset investasi.



2.8 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 24 TAHUN 2005

Dalam PP no 24 tahun 2005 mengatur tentang standar akuntansi pemerintah yang terdiri dari 8 pasal, yaitu :

Pasal 1

Di dalam pasal 1 PP no 24 tahun 2005 berisi tentang : Pemerintah, Akuntansi, Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintah, Standar Akuntansi Pemerintah, Sistem Akuntansi Pemerintah, Komite Standar Akuntansi Pemerintah, Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintah, Buletin Teknis, Pengantar Standar Akuntansi Pemerintah

Pasal 2

Di dalam pasal 2 PP no 24 tahun 2005 berisi tentang : SAP dinyatakan dalam bentuk Pernyataan Standar Akuntansi, SAP dilengkapi dengan Pengantar Standar Akuntansi Pemerintahan, PSAP dikembangkan oleh KSAP dengan mengacu kepada Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan, Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan dikembangkan oleh KSAP.



Pasal 3

Di dalam pasal 3 PP no 24 tahun 2005 berisi tentang:  PSAP dilengkapi

dengan IPSAP dan atau Buletin Teknis, IPSAP dan Buletin Teknis  disusun dan ditetapkan oleh KSAP dan diberitahukan kepada Badan Pemeriksa Keuangan, IPSAP dan Buletin Teknis merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari SAP.



Pasal 4

Di dalam pasal 4 PP no 24 tahun 2005 berisi tentang: PSAP Nomor 01 tentang Penyajian Laporan Keuangan, PSAP Nomor 02 tentang Laporan Realisasi Anggaran, adalah

sebagaimana ditetapkan dalam lampiran IV;

3. PSAP Nomor 03 tentang Laporan Arus Kas, adalah sebagaimana

ditetapkan dalam lampiran V;

4. PSAP Nomor 04 tentang Catatan atas Laporan Keuangan, adalah

sebagaimana ditetapkan dalam lampiran VI;

5. PSAP Nomor 05 tentang Akuntansi Persediaan, adalah sebagaimana

ditetapkan dalam lampiran VII;

6. PSAP Nomor 06 tentang Akuntansi Investasi, adalah sebagaimana

ditetapkan dalam lampiran VIII;

7. PSAP Nomor 07 tentang Akuntansi Aset Tetap, adalah sebagaimana

ditetapkan dalam lampiran IX;

8. PSAP Nomor 08 tentang Akuntansi Konstruksi Dalam Pengerjaan,

adalah sebagaimana ditetapkan dalam lampiran X;

9. PSAP Nomor 09 tentang Akuntansi Kewajiban, adalah sebagaimana

ditetapkan dalam lampiran XI;

10. PSAP Nomor 10 tentang Koreksi Kesalahan, Perubahan Kebijakan

Akuntansi, dan Peristiwa Luar Biasa, adalah sebagaimana ditetapkan

dalam lampiran XII; dan

11. PSAP Nomor 11 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian, adalah

sebagaimana ditetapkan dalam lampiran XIII.



Pasal 7

Semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan

penyelenggaraan akuntansi pemerintahan sepanjang belum diganti dan

tidak bertentangan dengan Peraturan Pemerintah ini dinyatakan tetap

berlaku.

·         Ruang Lingkup SAP                                                                                                                                                           

            SAP diterapkan di lingkup pemerintahan, yaitu pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan satuan organisasi di lingkungan pemerintah pusat/daerah, jika menurut peraturan perundang-undangan satuan organisasi dimaksud wajib menyajikan laporan keuangan.Keterbatasan dari penerapan SAP akan dinyatakan secara eksplisit pada

setiap standar yang diterbitkan.                                                                                                                     

·         Kedudukan SAP                                                                                                                              

Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003 tentang Keuangan Negara, SAP ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Setiap entitas pelaporan pemerintah pusat dan pemerintah daerah wajib menerapkan SAP. Selain itu, diharapkan adanya upaya pengharmonisan berbagai peraturan baik di pemerintah pusat maupun pemerintah daerah dengan SAP.                                                                                                                                                                               

·         Tujuan Dan Strategi KSAP                                                                                                            

1.     KSAP bertujuan meningkatkan akuntabilitas dan keandalan pengelolaan

Keuangan pemerintah melalui penyusunan dan pengembangan standar akuntansi pemerintahan, termasuk mendukung pelaksanaan penerapan standar tersebut.

2.       Dalam mencapai tujuan dimaksud, KSAP mengacu pada praktik-praktik terbaik internasional, di antaranya dengan mengadaptasi International Public Sector Accounting Standards (IPSAS) yang diterbitkan oleh International Federation of Accountant (IFAC).

3.       Strategi “adaptasi” memiliki pengertian bahwa secara prinsip pengembangan SAP berorientasi pada IPSAS, namun disesuaikan dengan kondisi di Indonesia, antara lain dengan memperhatikan peraturan perundangan yang berlaku, praktik-praktik keuangan yang ada, serta kesiapan sumber daya para pengguna SAP.

4.       Strategi pengembangan SAP dilakukan melalui proses transisi dari basis kas menuju akrual yang disebut cash towards accrual. Dengan basis ini, pendapatan, belanja, dan pembiayaan dicatat berdasarkan basis kas sedangkan aset, utang, dan ekuitas dana dicatat berdasarkan basis akrual.                                                                                                                                                                                    

·         Pelaporan Keuangan Pemerintah                                                                                                                                                                                                          Laporan keuangan pemerintah ditujukan untuk memenuhi tujuan umum pelaporan keuangan, namun tidak untuk memenuhi kebutuhan khusus pemakainya. Penggunaan istilah “laporan keuangan” meliputi semua laporan dan berbagai penjelasannya yang mengikuti laporan tersebut. Disamping penyusunan laporan keuangan bertujuan umum, entitas pelaporan dimungkinkan untuk menghasilkan laporan keuangan yang disusun untuk kebutuhan khusus. KSAP mendorong penggunaan SAP dalam penyusunan laporan keuangan bertujuan khusus apabila diperlukan.



·         Proses Penyiapan (Due Process) SAP                                                                                            

Proses penyiapan SAP merupakan mekanisme prosedural yang meliputi tahap-tahap kegiatan yang dilakukan dalam setiap penyusunan Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan (PSAP) oleh Komite. Proses penyiapan SAP yang digunakan ini adalah proses yang berlaku umum secara internasional dengan penyesuaian terhadap kondisi yang ada di Indonesia. Penyesuaian dilakukan antara lain karena pertimbangan kebutuhan yang mendesak dan kemampuan pengguna untuk memahami dan melaksanakan standar yang ditetapkan.



·         Penetapan Standar Akuntansi Pemerintahan                                                                               

Sebelum ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah, KSAP melalui pemerintah, meminta pertimbangan BPK RI atas draf SAP. Komite Konsultatif selanjutnya mengusulkan kepada Presiden draf SAP final melalui Menteri Keuangan untuk ditetapkan menjadi Peraturan Pemerintah.





2.9 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 71 TAHUN 2010

TENTANG

STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN



BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

(1)  Pemerintah adalah pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

(2)  Akuntansi adalah proses identifikasi, pencatatan, pengukuran, pengklasifikasian, pengikhtisaran transaksi dan kejadian keuangan, penyajian laporan, serta penginterpretasian atas hasilnya.

(3)  Standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disingkat SAP, adalah prinsip-prinsip akuntansi yang diterapkan dalam menyusun dan menyajikan laporan keuangan pemerintah.

(4)  Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disingkat PSAP, adalah SAP yang diberi judul, nomor, dan tanggal efektif.

(5)  Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan adalah konsep dasar penyusunan dan pengembangan Standar Akuntansi Pemerintahan, dan merupakan acuan bagi Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, penyusun laporan keuangan, pemeriksa, dan pengguna laporan keuangan dalam mencari pemecahan atas sesuatu masalah yang belum diatur dalam Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan.

(6)  Interpretasi Pernyataan Standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disingkat IPSAP, adalah penjelasan, klarifikasi, dan uraian lebih lanjut atas PSAP.

(7)  Buletin Teknis SAP adalah informasi yang berisi penjelasan teknis akuntansi sebagai pedoman bagi pengguna.

(8)  SAP Berbasis Akrual adalah SAP yang mengakui pendapatan, beban, aset, utang, dan ekuitas dalam pelaporan finansial berbasis akrual, serta mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan dalam pelaporan pelaksanaan anggaran berdasarkan basis yang ditetapkan dalam APBN/APBD.

(9)  SAP Berbasis Kas Menuju Akrual adalah SAP yang mengakui pendapatan, belanja, dan pembiayaan berbasis kas, serta mengakui aset, utang, dan ekuitas dana berbasis akrual.

(10)Komite Standar Akuntansi Pemerintahan, yang selanjutnya disingkat KSAP, adalah komite sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003tentang Keuangan Negara dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang bertugas menyusun SAP.

(11)Sistem Akuntansi Pemerintahan adalah rangkaian sistematik dari prosedur, penyelenggara, peralatan, dan elemen lain untuk mewujudkan fungsi akuntansi sejak analisis transaksi sampai dengan pelaporan keuangan di lingkungan organisasi pemerintah.

Pasal 2

(1) SAP dinyatakan dalam bentuk PSAP.

(2) SAP dilengkapi dengan Kerangka Konseptual AkuntansiPemerintahan.

Pasal 3

(1)   PSAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dapat dilengkapi dengan IPSAP dan/atau Buletin Teknis SAP.

(2)   IPSAP dan Buletin Teknis SAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun dan diterbitkan oleh KSAP dan diberitahukan kepada Pemerintah dan Badan Pemeriksa Keuangan.

(3)   Rancangan IPSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2)disampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja sebelum IPSAP diterbitkan.

BAB II

PENERAPAN STANDAR AKUNTANSI PEMERINTAHAN

Pasal 4

(1) Pemerintah menerapkan SAP Berbasis Akrual.

(2) SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dinyatakan dalam bentuk PSAP.

(3) SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan.

(4) PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sebagaimana tercantum dalam Lampiran I yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 5

(1)   Dalam hal diperlukan perubahan terhadap PSAP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (2), perubahan tersebut diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

(2)   Rancangan perubahan PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh KSAP sesuai dengan mekanisme yang berlaku dalam penyusunan SAP.

(3)   Rancangan perubahan PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan oleh KSAP kepada Menteri Keuangan.

(4)   Menteri Keuangan menyampaikan usulan rancangan perubahan PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (3) kepada Badan Pemeriksa Keuangan untuk mendapat pertimbangan.

Pasal 6

(1)   Pemerintah menyusun Sistem Akuntansi Pemerintahan yang mengacu pada SAP.

(2)   Sistem Akuntansi Pemerintahan pada Pemerintah Pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan yangmengacu pada pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan.

(3)   Sistem Akuntansi Pemerintahan pada pemerintah daerah diatur dengan peraturan gubernur/bupati/walikota yang mengacu pada pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan.

(4)   Pedoman umum Sistem Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan setelah berkoordinasi dengan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 7

(1)   Penerapan SAP Berbasis Akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) dapat dilaksanakan secara bertahap dari penerapan SAP Berbasis Kas Menuju Akrual menjadi penerapan SAP Berbasis Akrual.

(2)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pemerintah pusat diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

(3)   Ketentuan lebih lanjut mengenai penerapan SAP Berbasis Akrual secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) pada pemerintah daerah diatur dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri.

Pasal 8

(1)   SAP Berbasis Kas Menuju Akrual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dinyatakan dalam bentuk PSAP.

(2)   SAP Berbasis Kas Menuju Akrual sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilengkapi dengan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan.

(3)   PSAP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah sebagaimana tercantum dalam Lampiran II yang tidak terpisahkan dari Peraturan Pemerintah ini.





2.10 PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 58 TAHUN 2005 TENTANG PENGELOLAAN KEUANGAN DAERAH



BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1(Pengertian)

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

(1)  Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut pemerintah, adalah Presiden Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945

Pasal 2(Ruang Lingkup)

Ruang lingkup keuangan daerah meliputi:

a. hak daerah untuk memungut pajak daerah dan retribusi

daerah serta melakukan pinjaman;

b. kewajiban daerah untuk menyelenggarakan urusan

pemerintahan daerah dan memb

ayar tagihan pihak ketiga;

c. penerimaan daerah;

d. pengeluaran daerah;

e. kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan daerah;

f.  kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah daerah dalam rangka penyelenggaraan tugas pemerintahan daerah dan/atau kepentingan umum

Pasal 4 (Asas Umum Pengelolaan Keuangan Daerah)

(1) Keuangan daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan asas keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk masyarakat.

(2) Pengelolaan keuangan daerah dilaksanakan dalam suatu sistem yang terintegrasi yang diwujudkan dalam APBD yang setiap tahun ditetapkan dengan peraturan daerah

Pasal 5 (Pemegang Kekuasaan Pengelolaan Keuangan Daerah)

(1)   Kepala daerah selaku kepala pemerintah daerah adalah pemegang kekuasaan pengelolaan keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan kekayaan daerah yang dipisahkan.

Pasal 7 (Pejabat Pengelola Keuangan Daerah)

(1) PPKD mempunyai tugas sebagai berikut:

Menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan keuangan daerah, menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan

APBD, melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan Daerah, melaksanakan fungsi Bendahara Umum Daerah, menyusun laporan keuangan daerah dalam rangka pertanggungjawaban pelaksanaan APBD,  dan melaksanakan tugas lainnya berdasarkan kuasa yang dilimpahkan oleh kepala daerah.

Pasal 11(Pejabat Pengguna Anggaran / Pengguna Barang Daerah)

(1)   Pejabat pengguna anggaran dalam melaksanakan tugas dapat melimpahkan sebagian kewenangannya kepada kepala unit kerja pada SKPD selaku kuasa pengguna anggaran/pengguna barang.

Pasal 12(Pejabat Pelaksana Teknis Kegiatan SKPD)

(1)   Pejabat pengguna anggaran/kuasa pengguna anggaran dalam melaksanakan program dan kegiatan dapat menunjuk pejabat pada unit kerja SKPD selaku PPTK.

Pasal 14(Pejabat Penatausahaan Keuangan SKPD)

(1)   Dalam rangka melaksanakan wewenang atas penggunaan anggaran yang dimuat dalam DPA-SKPD, kepala SKPD menetapkan pejabat yang melaksanakan fungsi tata usaha keuangan pada SKPD sebagai pejabat penatausahaan keuangan SKPD.

Pasal 15(Bendahara Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran)

(1)   Kepala daerah atas usul PPKD mengangkat bendahara penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan pada SKPD.

Pasal 16 (Asas Umum APBD)

(1)   APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan

pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

Pasal 20 (Struktur APBD)

(1)   APBD merupakan satu kesatuan yang terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, pembiayaan daerah.

Pasal 21(Pendapatan Daerah)

(1)   Pendapatan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat huruf a terdiri atas Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan, dan Lain-lain pendapatan daerah yang sah.

Pasal 26 (Belanja Daerah)

(1)   Belanja daerah dipergunakan dalam rangka pelaksanaan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangan provinsi atau kabupaten/kota yang terdiri dari urusan wajib dan urusan pilihan yang ditetapkan dengan ketentuan perundang - undangan.

Pasal 28 (Pembiayaan Daerah)

(2)   Penerimaan pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup SiLPA tahun anggaran sebelumnya, pencairan dana cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan penerimaan kembali pemberian pinjaman.

(3)   Pengeluaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mencakup pembentukan dana cadangan, penyertaan modal pemerintah daerah, pembayaran pokok utang, dan pemberian pinjaman.

Pasal 61(Pelaksanaan Anggaran Belanja Daerah)

(1)   Setiap pengeluaran harus didukung oleh bukti yang lengkap dan sah mengenai hak yang diperoleh oleh pihak yang menagih.

Pasal 69 (Pelaksanaan Anggaran Pembiayaan Daerah)

(1) Pengelolaan anggaran pembiayaan daerah dilakukan oleh PPKD.

(2) Semua penerimaan dan pengeluaraan pembiayaan daerah dilakukan melalui Rekening Kas Umum Daerah.

Pasal 80 (Laporan Realisasi Semester Pertama APBD)

 (1)Pemerintah daerah menyusun laporan realisasi semester pertama APBD dan prognosis untuk 6 (enam) bulan berikutnya.

(2) Laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-lambatnya pada akhir bulan Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara DPRD dan pemerintah daerah.

Pasal 96 (Akuntansi Keuangan Daerah)

(1) Pemerintah daerah menyusun sistem akuntansi pemerintah daerah yang mengacu kepada standar akuntansi pemerintahan.

(2) Sistem akuntansi pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan kepala daerah mengacu pada peraturan daerah tentang pengelolaan keuangan daerah.

Pasal 97

Kepala daerah berdasarkan standar akuntansi pemerintahan menetapkan peraturan kepala daerah tentang kebijakan akuntansi.

Pasal 98

(1) Sistem akuntansi pemerintah daerah paling sedikit meliputi:

a. prosedur akuntansi penerimaan kas;

b. prosedur akuntansi pengeluaran kas;

c. prosedur akuntansi aset;

d. prosedur akuntansi selain kas.

(2) Sistem akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun berdasarkan prinsip pengendalian intern sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Pasal 99 (Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD)

(1) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang dan ekuitas dana, yang berada dalam tanggung jawabnya.

(2) Penyelenggaraan akuntansi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan pencatatan / penatausahaan atas transaksi keuangan di lingkungan SKPD dan menyiapkan laporan keuangan sehubungan dengan pelaksanaan anggaran dan barang yang dikelolanya.

(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, dan catatan atas laporan keuangan yang disampaikan kepada kepala daerah melalui PPKD selambat lambatnya 2 (dua) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(4) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran/pengguna barang memberikan pernyataan bahwa pengelolaan APBD yang menjadi tanggung jawabnya telah diselenggarakan berdasarkan system pengendalian intern yang memadai, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.



Pasal 100

(1) PPKD menyelenggarakan akuntansi atas transaksi keuangan, aset, utang, dan ekuitas dana, termasuk transaksi pembiayaan dan perhitungannya.

(2) PPKD menyusun laporan keuangan pemerintah daerah terdiri dari: Laporan Realisasi Anggaran, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Atas Laporan Keuangan.

(3) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dan disajikan sesuai dengan Peraturan Pemerintah tentang Standar Akuntansi Pemerintahan.

(4) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilampiri dengan laporan ikhtisar realisasi kinerja dan laporan keuangan badan usaha milik daerah/perusahaan daerah.

(5) Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun berdasarkan laporan keuangan SKPD.

(6) Laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disampaikan kepada kepala daerah dalam rangka memenuhi pertanggungjawaban pelaksanaan APBD.

Pasal 101

Kepala daerah menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) paling lambat 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

Pasal 102

(1) Laporan keuangan pelaksanaan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 100 ayat (2) disampaikan kepada BPK selambat -lambatnya 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.

(2) Pemeriksaan laporan keuangan oleh BPK sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari pemerintah daerah.

(3) Apabila sampai batas waktu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) BPK belum menyampaikan laporan hasil pemeriksaan, rancangan peraturan daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 diajukan kepada DPRD.

Pasal 103

Kepala daerah memberikan tanggapan dan melakukan penyesuaian terhadap laporan keuangan berdasarkan hasil pemeriksaan BPK atas laporan keuangan pemerintah daerah sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 102 ayat (1).



Pasal 104 (Pengendalian Defisit APBD)

(1) Dalam hal APBD diperkirakan defisit ditetapkan sumber - sumber pembiayaan untuk menutupi defisit tersebut dalam peraturan daerah tentang APBD.

(2) Defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditutup dengan pembiayaan netto.

Pasal 105

Dalam rangka pengendalian fiskal nasional, Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD.

Pasal 106

(1) Berdasarkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit APBN dan APBD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 105, Menteri Keuangan setelah memperoleh pertimbangan Menteri Dalam Negeri menetapkan batas maksimal defisit APBD masing-masing daerah untuk setiap tahun anggaran.

(2) Penetapan batas maksimal defisit APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh Menteri Keuangan setiap tahun pada bulan Agustus.

(3) Pemerintah daerah wajib melaporkan posisi surplus/deficit APBD kepada Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan setiap semester dalam tahun anggaran berkenaan.

(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3), dapat dilakukan penundaan atas penyaluran Dana Perimbangan.

Pasal 107

Defisit APBD dapat ditutup dari sumber pembiayaan yaitu sisa lebih perhitungan anggaran (SiLPA) daerah tahun sebelumnya, pencairan dana cadangan,hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan pinjaman, dan / atau penerimaan kembali pemberian pinjaman. 

Pasal 108 (Penggunaan Surplus APBD)

Dalam hal APBD diperkirakan surplus, penggunaannya ditetapkan dalam peraturan daerah tentang APBD.

Pasal 109

Penggunaan surplus APBD diutamakan untuk pengurangan utang,

pembentukan dana cadangan, dan/atau pendanaan belanja peningkatan jaminan sosial.

Pasal 110(Pengelolaan Kas Umum Daerah)

Semua transaksi penerimaan dan pengeluaran daerah dilaksanakan melalui rekening kas umum daerah.

Pasal 114 (Pengelolaan Piutang Daerah)

(1)   Setiap pejabat yang diberi kuasa untuk mengelola pendapatan, belanja, dan kekayaan daerah wajib mengusahakan agar setiap piutang daerah diselesaikan seluruhnya dengan tepat waktu.

Pasal 116 (Pengelolaan Investasi Daerah)

Pemerintah daerah dapat melak`ukan investasi jangka pendek dan jangka panjang untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, dan/atau manfaat lainnya.

Pasal 121 (Pengelolaan Barang Milik Daerah)

(1)Pengelolaan barang daerah meliputi rangkaian kegiatan dan tindakan terhadap barang daerah yang mencakup perencanaan kebutuhan, penganggaran, pengadaan, penggunaan, pemanfaatan, pemeliharaan, penatausahaan, penilaian, penghapusan, pemindahtanganan dan pengamanan.



Pasal 122 (Pengelolaan Dana Cadangan)

(4)  Penggunaan dana cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang bersangkutan

                      

Pasal 125 (Pengelolaan Utang Daerah)

(1)   Hak tagih mengenai utang atas beban daerah kedaluwarsa setelah 5 (lima) tahun sejak utang tersebut jatuh tempo, kecuali ditetapkan lain oleh undang-undang.

Pasal 151( Pengaturan Pengelolaan keuangan daerah)

(1) Ketentuan tentang pokok-pokok pengelolaan keuangan daerah diatur dengan peraturan daerah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

(2) Berdasarkan peraturan daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1), kepala daerah menetapkan peraturan kepala daerah tentang sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah.







2.11  PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA

         NOMOR 60 TAHUN 2008

        TENTANG SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH



BAB I

KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:

1.      Sistem Pengendalian Intern adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.

2.      Sistem Pengendalian Intern Pemerintah, yang selanjutnya disingkat SPIP, adalah Sistem Pengendalian Intern yang diselenggarakan secara menyeluruh di lingkungan pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

3.      Pengawasan Intern adalah seluruh proses kegiatan audit, reviu, evaluasi, pemantauan, dan kegiatan pengawasan lain terhadap penyelenggaraan tugas dan fungsi organisasi dalam rangka memberikan keyakinan yang memadai bahwa kegiatan telah dilaksanakan sesuai dengan tolok ukur yang telah ditetapkan secara efektif dan efisien untuk kepentingan pimpinan dalam mewujudkan tata kepemerintahan yang baik.

4.      Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, yang selanjutnya disingkat BPKP, adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada Presiden.

5.      Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada menteri/pimpinan lembaga.

6.      Inspektorat Provinsi adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada gubernur.

7.      Inspektorat Kabupaten/Kota adalah aparat pengawasan intern pemerintah yang bertanggung jawab langsung kepada bupati/walikota.

8.      Kementerian negara adalah organisasi dalam Pemerintahan Republik Indonesia yang dipimpin oleh menteri untuk melaksanakan tugas dalam bidang tertentu.

9.      Lembaga adalah organisasi non-kementerian negara dan instansi lain pengguna anggaran yang dibentuk untuk melaksanakan tugas tertentu berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 atau peraturan perundang-undangan lainnya.

10.  Pemerintah daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat daerah sebagai unsur penyelenggara pemerintahan daerah.

11.  Instansi Pemerintah adalah unsur penyelenggara pemerintahan pusat atau unsur penyelenggara pemerintahan daerah.



Pasal 2


(1)   Untuk mencapai pengelolaan keuangan negara yang efektif, efisien, transparan, dan akuntabel, menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota wajib melakukan pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan.

(2)   Pengendalian atas penyelenggaraan kegiatan pemerintahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), dilaksanakan dengan berpedoman pada SPIP sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah ini.

(3)   SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bertujuan untuk memberikan keyakinan yang memadai bagi tercapainya efektivitas dan efisiensi pencapaian tujuan penyelenggaraan pemerintahan negara, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan.



BAB II

UNSUR SISTEM PENGENDALIAN INTERN PEMERINTAH

Pasal 3

(1)   SPIP terdiri atas unsur lingkungan pengendalian, penilaian risiko, kegiatan pengendalian, informasi dan komunikasi dan pemantauan pengendalian intern.

(2)   Penerapan unsur SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan menyatu dan menjadi bagian integral dari kegiatan Instansi Pemerintah.



Pasal 4 (Lingkungan Pengendalian)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menciptakan dan memelihara lingkungan pengendalian yang menimbulkan perilaku positif dan kondusif untuk penerapan Sistem Pengendalian Intern dalam lingkungan kerjanya, melalui penegakan integritas dan nilai etika, komitmen terhadap kompetensi, kepemimpinan yang kondusif, pembentukan struktur organisasi yang sesuai dengan kebutuhan, pendelegasian wewenang dan tanggung jawab yang tepat, penyusunan dan penerapan kebijakan yang sehat tentang pembinaan sumber daya manusia, perwujudan peran aparat pengawasan intern pemerintah yang efektif; danhubungan kerja yang baik dengan Instansi Pemerintah terkait.

Pasal 13 (Penilaian Risiko)

(1)   Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan penilaian risiko.

(2)   Penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:

  1. identifikasi risiko; dan
  2. analisis risiko.

(3)   Dalam rangka penilaian risiko sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah menetapkan:

  1. tujuan Instansi Pemerintah; dan
  2. tujuan pada tingkatan kegiatan, dengan berpedoman pada peraturan perundang-undangan.

Pasal 18 (Kegiatan Pengendalian)


(1)  Pimpinan Instansi Pemerintah wajib menyelenggarakan kegiatan pengendalian sesuai dengan ukuran, kompleksitas, dan sifat dari tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang bersangkutan.



Pasal 41(Informasi dan Komunikasi)

Pimpinan Instansi Pemerintah wajib mengidentifikasi, mencatat, dan mengkomunikasikan informasi dalam bentuk dan waktu yang tepat.

Pasal 42

(1)   Komunikasi atas informasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 wajib diselenggarakan secara efektif.

(2)   Untuk menyelenggarakan komunikasi yang efektif sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pimpinan Instansi Pemerintah harus sekurang-kurangnya:

  1. menyediakan dan memanfaatkan berbagai bentuk dan sarana komunikasi; dan
  2. mengelola, mengembangkan, dan memperbarui sistem informasi secara terus menerus.

Pasal 43 (Pemantauan)

(1)   Pimpinan Instansi Pemerintah wajib melakukan pemantauan Sistem Pengendalian Intern.

(2)   Pemantauan Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan melalui pemantauan berkelanjutan, evaluasi terpisah, dan tindak lanjut rekomendasi hasil audit dan reviu lainnya.

Pasal 44


Pemantauan berkelanjutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 ayat (2) diselenggarakan melaluikegiatan pengelolaan rutin, supervisi, pembandingan,

rekonsiliasi, dan tindakan lain yang terkait dalam pelaksanaan tugas.



BAB III

PENGUATAN EFEKTIVITAS PENYELENGGARAAN SPIP

Pasal 47

(1)   Menteri/pimpinan lembaga, gubernur, dan bupati/walikota bertanggung jawab atas efektivitas penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern di lingkungan masing-masing.

(2)   Untuk memperkuat dan menunjang efektivitas Sistem Pengendalian Intern sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan:

a.       pengawasan intern atas penyelenggaraan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah termasuk akuntabilitas keuangan negara; dan

b.      pembinaan penyelenggaraan SPIP.



Pasal 48 (Pengawasan Intern atas Penyelenggaraan Tugas dan Fungsi Instansi Pemerintah)

(1)   Pengawasan intern sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat (2) huruf a dilakukan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

Pasal 49


(1) Aparat pengawasan intern pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (1) terdiri atas:

  1. BPKP;
  2. Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern;
  3. Inspektorat Provinsi; dan
  4. Inspektorat Kabupaten/Kota.

(2) BPKP melakukan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara atas kegiatan tertentu yang meliputi:

  1. kegiatan yang bersifat lintas sektoral;
  2. kegiatan kebendaharaan umum negara berdasarkan penetapan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara; dan
  3. kegiatan lain berdasarkan penugasan dari Presiden.

(2)   Dalam rangka pelaksanaan pengawasan intern untuk kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b, Menteri Keuangan melakukan koordinasi kegiatan yang terkait dengan Instansi Pemerintah lainnya.

(3)   Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi kementerian negara/lembaga yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

(4)   Inspektorat Provinsi melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah provinsi yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah provinsi.

(5)   Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan dalam rangka penyelenggaraan tugas dan fungsi satuan kerja perangkat daerah kabupaten/kota yang didanai dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah kabupaten/kota.

Pasal 50


(1)   Audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 48 ayat (2) terdiri atas:

  1. audit kinerja; dan
  2. audit dengan tujuan tertentu.

(2)   Audit kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan audit atas pengelolaan keuangan negara dan pelaksanaan tugas dan fungsi Instansi Pemerintah yang terdiri atas aspek kehematan, efisiensi, dan efektivitas.

(3)   Audit dengan tujuan tertentu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b mencakup audit yang tidak termasuk dalam audit kinerja sebagaimana dimaksud pada ayat (2).

Pasal 51


(1)   Pelaksanaan audit intern di lingkungan Instansi Pemerintah dilakukan oleh pejabat yang mempunyai tugas melaksanakan pengawasan dan yang telah memenuhi syarat kompetensi keahlian sebagai auditor.

(2)   Syarat kompetensi keahlian sebagai auditor sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipenuhi melalui keikutsertaan dan kelulusan program sertifikasi.

(3)   Kebijakan yang berkaitan dengan program sertifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan oleh instansi pembina jabatan fungsional sesuai peraturan perundang-undangan.

Pasal 52


(1)   Untuk menjaga perilaku pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) disusun kode etik aparat pengawasan intern pemerintah.

(2)   Pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib menaati kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)   Kode etik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan pemerintah.





Pasal 53

(1)   Untuk menjaga mutu hasil audit yang dilaksanakan aparat pengawasan intern pemerintah, disusun standar audit.

(2)   Setiap pejabat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 51 ayat (1) wajib melaksanakan audit sesuai dengan standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1).

(3)   Standar audit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi auditor dengan mengacu pada pedoman yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pasal 54


(1)   Setelah melaksanakan tugas pengawasan, aparat pengawasan intern pemerintah wajib membuat laporan hasil pengawasan dan menyampaikannya kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang diawasi.

(2)   Dalam hal BPKP melaksanakan pengawasan atas kegiatan kebendaharaan umum negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 49 ayat (2) huruf b, laporan hasil pengawasan disampaikan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dan kepada pimpinan Instansi Pemerintah yang diawasi.

(3)   Secara berkala, berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2), BPKP menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada Presiden dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

(4)   Secara berkala, berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern, Inspektorat Provinsi, dan Inspektorat Kabupaten/Kota menyusun dan menyampaikan ikhtisar laporan hasil pengawasan kepada menteri/pimpinan lembaga, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya dengan tembusan kepada Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara.

Pasal 55


(1)   Untuk menjaga mutu hasil audit aparat pengawasan intern pemerintah, secara berkala dilaksanakan telaahan sejawat.

(2)   Pedoman telaahan sejawat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disusun oleh organisasi profesi auditor.

Pasal 56


Aparat pengawasan intern pemerintah dalam melaksanakan tugasnya harus independen dan obyektif.

Pasal 57


(1)   Inspektorat Jenderal atau nama lain yang secara fungsional melaksanakan pengawasan intern melakukan reviu atas laporan keuangan kementerian negara/lembaga sebelum disampaikan menteri/pimpinan lembaga kepada Menteri Keuangan.

(2)   Inspektorat Provinsi melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah daerah provinsi sebelum disampaikan gubernur kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

(3)   Inspektorat Kabupaten/Kota melakukan reviu atas laporan keuangan pemerintah daerah kabupaten/kota sebelum disampaikan bupati/walikota kepada Badan Pemeriksa Keuangan.

(4)   BPKP melakukan reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Pusat sebelum disampaikan Menteri Keuangan kepada Presiden.

(5)   Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menetapkan standar reviu atas laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) untuk digunakan sebagai pedoman dalam pelaksanaan reviu atas laporan keuangan oleh aparat pengawasan intern pemerintah.

Pasal 58


Ketentuan lebih lanjut mengenai penyelenggaraan pengawasan intern terhadap akuntabilitas keuangan negara diatur dengan Peraturan Presiden.


Pasal 59 (Pembinaan Penyelenggaraan Sistem Pengendalian Intern Pemerintah)

(1)  Pembinaan penyelenggaraan SPIP sebagaimana dimaksud dalam Pasal 47 ayat huruf b meliputi:

  1. penyusunan pedoman teknis penyelenggaraan SPIP;
  2. sosialisasi SPIP;
  3. pendidikan dan pelatihan SPIP;
  4. pembimbingan dan konsultansi SPIP; dan
  5. peningkatan kompetensi auditor aparat pengawasan intern pemerintah.

(2)  Pembinaan penyelenggaraan SPIP sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh BPKP.



BAB IV

KETENTUAN PENUTUP



Pasal 60

Ketentuan mengenai SPIP di lingkungan pemerintah daerah diatur lebih lanjut dengan Peraturan Gubernur atau Peraturan Bupati/Walikota dengan berpedoman pada Peraturan Pemerintah ini.

Pasal 61


Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.







































BAB III

KESIMPULAN



Jadi, dapat disimpulkan bahwa SAP merupakan memberikan informasi yang diperlukan agar dapat mengelola suatu operasi dan alokasi sumber daya yang dipercayakan kepada organisasi secara tepat, efisien, dan ekonomis, serta memberikan informasi untuk melaporkan pertanggungjawaban pelaksanaan pengelolaan tersebut serta melaporkan hasil operasi dan penggunaan dana publik. Selain itu, akuntansi pemerintahan mengacu pada penerapan teori, prinsip atau standar akuntansi pada organisasi yang tidak mencari laba, khususnya unit organisasi pemerintahan.

Related Posts

0 Response to "AKUNTANSI SEKTOR PUBLIK SAP 1"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel