-->

PAPER PEMBANGUNAN DAERAH


BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang

Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua pengertian utama, yaitu, Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat. Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.

Sistem sentralisasi yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara menjadi urusan pusat, pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada pemerintah pusat, pusat memegang semua kendali atas semua wilayah atau daerah di Indonesia, dan daerah harus melaksanakan apa yang menjadi kebijakan pemerintah pusat.
Dalam penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia dibagi dalam daerah provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang lebih kecil. Dengan penerapan sistem terpusat di segala bidang kehidupan ternyata tidak dapat menciptakan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh daerah, karena jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan daerah yang jauh dari pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan membangun Good Governence belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim orde baru, berganti dengan era reformasi, mengubah cara pandang untk mewujudkan Good Governence, salah satunya dengan adanya otonomi daerah, karena Otonomi Daerah dapat mengembangkan hubungan antara pemerintah pusat dan daerah
Pembangunan ekonomi saat ini di negara kita (indonesia) selama masa pemerintahan orde baru lebih mementingkan atau memusatkanpada pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak membuat wilayah daerahtanah air dapat berkembang dengan baik. Sebagai hasil pembangunan selama ini lebih dikonsentrasikan di Pusat Jawa atau di Ibukota, hal ini merupakan sebagai proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran. Pada tingkat nasional memang laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan tingkat pendapatan perkapita naik terus setiap tahun hingga krisis terjadi. Namun dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar propinsi makin membesar.

1.2. Rumusan Masalah

1.2.1 Apa itu pembangunan daerah, otonomi, serta bagaimana hubungan keduanya?
1.2.2. Apa perbedaan otonomi pada tingkat provinsi dan kabupaten?
1.2.3. Apa saja prinsip-prinsip pembiayaan pemerintah daerah?
1.2.4. Apa saja sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah?
1.2.5. Apa saja sumber pendapatan daerah yang berasal dari pinjaman?
1.3. Tujuan

1.3.1. Menganalisa mengenai pembangunan daerah, otonomi, serta hubungan keduanya
1.3.2. Menganalisa perbedaan otonomi pada tingkat provinsi dan kabupaten
1.3.3. Menganalisa prinsip-prinsip pembiayaan pemerintah daerah
1.3.4. Menganalisa sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah
1.3.5. Menganalisa sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah






BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Pembangunan Daerah, Otonomi, Serta Hubungan Keduanya
Pembangunan Daerah
Pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan daerah. Daerah-daerah semakin memiliki kebebasan untuk mengembangkan wilayahnya sesuai kebutuhan masyarakat lokal. Kewenangan pemerintah daerah melalui otonomi daerah akan memberikan pelayanan maksimal kepada para pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global. Otonomi daerah juga akan mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan dan tertinggal. Melalui kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat, pemerintah daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuannya. Jadi kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
Prinsip Otonomi Daerah
Sejak ketetapan MPR No. XXI Tahun 1996 prinsip dalam otonomi daerah bersifat seluas-luasnya dan kemudian berkembang menjadi otonomi daerah yang luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama, serta kewenangan di bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di daerah, sedangkan yang dimaksud dengan otonomi bertanggung jawab adalah berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antardaerah dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi, Dekosentrasi, dan Tugas Pembantuan
Dalam UU No. 32 dan UU No. 33 dikenal adanya desentralisasi kewenangan, pelimpahan kewenangan, dan penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertical di wilayah tertentu. UU No. 32 Tahun 2004 memperpendek jangkauan asas dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan provinsi dan hanya untuk kegiatan bersifat nonfisik. Sedangkan tugas pembantuan adalah penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan/atau desa dari pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari pemerintahan kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu yang bersifat fisik.
2.2. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah

Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsistem keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas di antara kedua tingkat pemerintahan. Pemberian sumber keuangan Negara kepada pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperlihatkan stabilitas dan keseimbangan fiskal. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintahan daerah merupakan satu system yang menyeluruh dalam rangka pendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.
PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiscal antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antarpemerintah daerah. Pinjaman derah bertujuan untuk memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Lain-lain pendapatan bertujuan untuk memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain pendapatan yang disebutkan di atas.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didanai APBD. Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian dana. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan penyelenggaraan urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka tugas pembantuan didanai APBN.
2.3. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Pemerintah Daerah

2.3.1. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain dan penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
2.3.2. Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Daerah antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi pemerintah, hasil privatisasi perusahaan daerah, penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pihak ketiga, penjualan investasi permanen lainnya dan pencairan dana cadangan.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum Daerah. Akuntansi penerimaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan azas bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan bruto dan tidak mencatat jumlah nettonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Pencairan Dana Cadangan mengurangi Dana Cadangan yang bersangkutan.
Penerimaan pembiayaan mencakup :
a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA)
b. pencairan dana cadangan
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. penerimaan pinjaman daerah
e. penerimaan kembali pemberian pinjaman
f. penerimaan piutang daerah.
2.3.3. Pengeluaran Pembiayaan
Pengeluaran pembiayaan adalah semua pengeluaran Rekening Kas Umum Daerah antara lain pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal pemerintah, pembayaran kembali pokok pinjaman dalam periode tahun anggaran tertentu dan pembentukan dana cadangan. Pengeluaran pembiayaan diakui pada saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Daerah.
Pembentukan Dana Cadangan menambah Dana Cadangan yang bersangkutan. Hasil-hasil yang diperoleh dari pengelolaan Dana Cadangan di pemerintah daerah merupakan penambah Dana Cadangan. Hasil tersebut dicatat sebagai pendapatan dalam pos pendapatan asli daerah lainnya.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. pembentukan dana cadangan
b. penerimaan modal (investasi) pemerintah daerah
c. pembayaran pokok utang
d. pemberian pinjaman daerah.
2.3.4. Pembiayaan Netto
Pembiayaan netto adalah selisih antara penerimaan pembiayaan setelah dikurangi pengeluaran pembiayaan dalam periode tahun anggaran tertentu. Selisih lebih/kurang antara penerimaan dan pengeluaran pembiayaan selama satu periode pelaporan dicatat dalam pos Pembiayaan Netto.
Sisa Lebih/kurang Pembiayaan Anggaran (SILPA/SiKPA)
Sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran adalah selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode pelaporan. Selisih lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode pelaporan dicatat dalam pos SiLPA/SiKPA.
Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan, pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan lanjutan.
Dana Cadangan
Dana Cadangan adalah dana yang dibentuk guna membiayai kebutuhan dana yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Dana Cadangan dibentuk untuk suatu tujuan tertentu secara spesifik. Pembentukan Dana Cadangan menggunakan rekening terpisah dari rekening kas daerah (Pembiayaan – Transfer ke Dana Cadangan).
Penggunaan Dana Cadangan harus sesuai tujuan yang telah ditetapan Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam satu tahun anggaran.
Pembentukan dana cadangan ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan daerah mencakup penetapan tujuan pembentukan dana cadangan, program dan kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahunan dana cadangan yang harus dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana cadangan, sumber dana cadangan dan tahun anggaran pelaksanaan dana cadangan.
Rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan dibahas bersamaan dengan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD. Penetapan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan ditetapkan oleh kepala daerah bersamaan dengan penetapan rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Dana cadangan dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan daerah, kecuali dari dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan penerimaan lain yang penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu berdasarkan peraturan perundang-undangan. Dana cadangan ditempatkan pada rekening tersendiri.
Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan penempatan dalam portofolio dicantumkan sebagai penambah dana cadangan berkenaan dalam daftar dana cadangan pada lampiran rancangan peraturan daerah tentang APBD. Pembentukan dana cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam tahun anggaran yang berkenaan.
Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam tahun anggaran berkenaan. Jumlah yang dianggarkan yaitu sesuai dengan jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan berkenaan.
Penggunaan atas dana cadangan yang dicairkan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dianggarkan dalam belanja langsung SKPD pengguna dana cadangan berkenaan, kecuali diatur tersendiri dalam peraturan perundang-undangan.
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
Hasil Penjualan Aset yang Dipisahkan adalah penerimaan daerah yang bersumber dari hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dari kekayaan daerah, misalnya penjualan aset Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan digunakan antara lain untuk menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.
Penerimaan Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah penerimaan daerah yang bersumber dari dana pihak ketiga (kreditur) yang harus dikembalikan di kemudian hari sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara pemda dengan kreditur dan akan menambah utang daerah.
Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan penerimaan pinjaman daerah termasuk penerimaan atas penerbitan obligasi daerah yang akan direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan.
Pemberian Pinjaman daerah dan Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman Daerah
Pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
Penerimaan Pelunasan Piutang adalah penerimaan daerah yang bersumber dari pelunasan piutang yang diterima dari pihak ketiga atau debitur dan akan mengurangi piutang daerah.
Penerimaan kembali pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan posisi penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.

Penerimaan Piutang Daerah
Penerimaan piutang digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber dari pelunasan piutang fihak ketiga, seperti berupa penerimaan piutang daerah dari pendapatan daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan penerimaan piutang lainnya.

Investasi Pemerintah Daerah
Investasi pemerintah daerah digunakan untuk mengelola kekayaan pemerintah daerah yang diinvestasikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas dan beresiko rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (duabelas) bulan.
Investasi jangka pendek mencakup deposito berjangka waktu tiga bulan sampai dengan 12 bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis, pembelian Surat Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Perbendaharaan Negara (SPN).
Investasi jangka panjang digunakan untuk menampung penganggaran investasi yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 bulan yang terdiri dari investasi permanen dan non-permanen.
Investasi jangka panjang antara lain surat berharga yang dibeli pemerintah daerah dalam rangka mengendalikan suatu badan usaha, misalnya pembelian surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu badan usaha, surat berharga yang dibeli pemerintah daerah untuk tujuan menjaga hubungan baik dalam dan luar negeri, surat berharga yang tidak dimaksudkan untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka pendek.
Investasi permanen bertujuan untuk dimiliki secara berkelanjutan tanpa ada niat untuk diperjualbelikan atau tidak ditarik kembali, seperti kerjasama daerah dengan pihak ketiga dalam bentuk penggunausahaan/pemanfaatan aset daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD dan/atau badan usaha lainnya dan investasi permanen lainnya yang dimiliki pemerintah daerah untuk menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Investasi non permanen bertujuan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan atau ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali, seperti pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk dimiliki sampai dengan tanggal jatuh tempo, dana yang disisihkan pemerintah daerah dalam rangka pelayanan/pemberdayaan masyarakat seperti bantuan modal kerja, pembentukan dana secara bergulir kepada kelompok masyarakat, pemberian fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan menengah.
Investasi jangka panjang pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang penyertaan modal dengan berpedoman pada ketentuan peraturan perundang-undangan.
Investasi pemerintah daerah, dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan. Divestasi pemerintah daerah dianggarkan dalam penerimaan pembiayaan pada jenis hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Divestasi pemerintah daerah yang dialihkan untuk diinvestasikan kembali dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan pada jenis penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah.
Penerimaan hasil atas investasi pemerintah daerah dianggarkan dalam kelompok pendapatan asli daerah pada jenis hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan.
Pembayaran Pokok Utang
Pembayaran Utang Pokok yang Jatuh tempo adalah pengeluaran daerah yang digunakan untuk membayar utang pokok yang jatuh tempo. Pembayaran pokok utang digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang yang dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
2.4. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah
Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan suatu daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaannya bisa bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Selanjutnya adalah meliputi masing-masing komponen dari pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya sudah dianggap cukup jelas.
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang sah (yang meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Dalam upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor, sehingga menyebabkan ekonomi biaya tinggi. Ketentuan mengenai pajak daerah, retribusi daerah, dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dilaksanakan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
2. Dana Perimbagan
Dana perimbangan terdiri atas: (i) dana bagi hasil, (ii) dana alokasi umum, dan (iii) dana alokasi khusus, yang jumlahnya ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
(i). Dana Bagi Hasil. Dana ini bersumber dari pajak dan sumber daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak Bumi dan Banguan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagi antara pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sebagai pada tabel 1. Sedangkan dana bagi hasil dari sumber daya alam yang berasal dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas bumi dibagi sebagai tabel 2.
Tabel 1: Pembagian Dana Bagi Hasil dari Pajak Antar Pemerintahan
Keterangan
Pusat
Provinsi
Kab/Kota
Penerimaan PBB (-9% bea pemungutan)
10% dari bagian pemerintah Pusat
9%
-
16,2%
-
64,8%
65%1)
35%2)
Penerimaan BPHTB3)
20% dari bagian pemerintah Pusat
20%
-
16%
-
64%
Rata1)
Penerimaan PPh Ps 25, Ps 29 dan Psl 21 (dilaksanakan tiap triwulan)
80%
8%
12%
1) Dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota
2) Dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu
3) BPHTB = Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan
Sumber: UU No. 33 pasal 12 dan 13
Tabel 2: Pembagian Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam antar Pemerintahan
Keterangan
Pusat
Provinsi*
Kab/Kota*
Dana Bagi Hasil dari Kehutanan
-Iuran Hak Pengusahaan Hutaan (IHPH)
-Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH)
-Dana Reboisasi
-
20%
20%
60%2)
-
16%
16%
-
-
64%
32%
32%rata1)
40%3)
Dana Bagi Hasil dari Pertamb. Umum
- Penerimaan iuran tetap
- Royalti
-
20%
20%
-
16%
16%
-
64%
32%
32%lain4)
Dana Bagi Hasil Perikanan:
-Penerimaan Pungutan Pengusahaan
-Penerimaan Pungutan Hasil
20%
-
80%5
Dana Bagi Hasil Pertamb. Minyak Bumi (setelah dikurangi pajak) 7)
84,5%
3%
0,5%6)
6% penghasil
6% lainnya 4)
Dana Bagi Hasil Pertamb. Gas Bumi 7) (setelah dikurangi pajak)
69,5%
6%
0,5% 6)
12% penghasil
12% lainnya 4)
Dana Bagi Hasil Pertambangan Panas Bumi
20%
16%
32% penghasil
32% lainnya
*Provinsi, Kab/Kota berarti provinsi atau kabupaten/kota penghasil
1) Rata untuk semua kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2) Untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional
3) Untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil
4) Untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dibagi rata
5) Dibagikan dengan porsi yang sama besar kepda kabupaten/kota di seluruh Indonesia
6) Dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar (0,1% di provinsi, 0,2% di kabupaten/kota penghasil, dan o,2% di kabupaten/kota lain di provinsi bersangkutan).
7) Tidak lebih dari 130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun berjalan, sedangkan kalau melebihi 130% penyalurannya dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan. Pelanggaran akan dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran dana bagi hasil sektor minyak bumi dan gas bumi.
Sumber: UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 14-Pasal 26
Tabel 3 menunjukkan jumlah dana bagi hasil untuk seluruh kabupaten/kota dan seluruh provinsi di Indonesia. Dana bagi hasil dari pajak baik di tingkat kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi selalu mengalami kenaikan dan lebih besar dari dana bagi hasil dari sumber daya alam. Secara keseluruhan dana dari sumber ini mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sekitar 1 sampai 6 persen.
Tabel 3: Dana Bagi Hasil di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan
2006
2007
2008
1. Seluruh Kabupaten/Kota (2+3)
2. Dana Bagi Hasil dari Pajak
3. Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam
4. Seluruh Provinsi (5+6)
5. Dana Bagi Hasil dari Pajak
6. Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam
7. Dana Bagi Hasil Indonesia (1+4)
8. Kenaikan per tahun untuk Indonesia
41.149
22.441
18.708
19.063
10.281
8.782
60.212
-
41.807
21.908
19.899
19.259
12.613
6.646
61.066
1,42%
43.628
25.628
18.171
21.067
13.567
7.500
64.695
5,94%
(ii) Dana Alokasi Umum. Jumlah DAU keseluruhan ditentukan sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto yang ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah ini adalah untuk seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota. Dasar untuk menentukan berapa jumlah DAU yang diterima oleh satu daerah (provinsi, kabupaten/kota) adalah apa yang disebut celah fiskal dikurangi dengan kapasitas fiskal, sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks pembangunan manusia. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan berdasarkan rasio kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas dasar celah fiskal untuk satu daerah provinsi dihitung berdasarkan perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Perhitungan yang sama berlaku juga untuk daerah kabupaten/kota.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol (kebutuhan fiskalnya = kapasitas fiskalnya) menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah dikurangi nilai celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
Kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dihitung dengan memakai data yang diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU dengan memperhatikan pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi daerah. Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengn Keputusan Presiden dan disalurkan setiap bulan sebelum bulan bersangkutan, masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU daerah yang bersangkutan. Data DAU untuk seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4: DAU Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan
2006
2007
2008
Seluruh Provinsi
Seluruh Kabupaten/Kota
Jumlah seluruh DAU (Indonesia)
Kenaikan untuk Indonesia
14.571
128.898
143.469
-
16.478
148.956
165.434
15,31%
17.825
158.758
176.583
6,74%
` Jumlah DAU yang diterima oleh kabupaten/kota sekitar 9 kali lipat dibandingkan dengan yang diterima oleh semua provinsi. Salah satu sebab adalah jumlah kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah provinsi di Indonesia. Namun, tidak ada informasi mengenai DAU yang diterima oleh masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
(iii) Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK dialokasikan kepada daerah tertentu yang ditetapkan setiap tahun dalam APBN untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD. Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah. Dan kriteria teknis ditetapkan oleh kementrian Negara/departemen teknis.
Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana pendamping tersebut dianggarkan dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan dana pendamping. Dana DAK yang diterima oleh provinsi dan kabupaten/kota di Indonesia tahun 2006-2008 adalah sebagai berikut:
Tabel 5: DAK Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan
2006
2007
2008
Seluruh Provinsi
Seluruh Kabupaten/Kota
Jumlah seluruh DAK (Indonesia)
Kenaikan untuk Indonesia
20
11.773
11.793
-
775
16.976
17.751
50,52%
1.491
20.407
21.898
23,36%
Jumlah DAK yang diterima oleh kabupaten/kota hampir 600 kali lipat (2006), 22 kali lipat (2007), dan 14 kali lipat (2008) dibandingkan dengan jumlah DAK yang diterima oleh semua provinsi untuk tahun yang sama. Salah satu sebab adalah jumlah kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah provinsi di Indonesia. Beberapa penulis mengatakan bahwa banyak provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mengusahakan DAK. DAK secara keseluruhan, yakni untuk seluruh provinsi dan untuk seluruh kabupaten/kota mengalami kenaikan tiap tahun, namun tidak ada informasi mengenai DAK yang diterima masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
3. Lain-lain Pendapatan.
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah pusat. Hibah dituangkan dalam satu naskah perjanjian antara pemerintah daerah dan pemberi hibah. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian. Tata cara pemberian, penerimaan dan penggunaan hibah, baik dari dalam negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden. Pemerintah dapat mengalokasikan dana darurat pada daerah yang dinyatakan mengalami krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi pemerintah sesuai dengan peraturan Perundang-undangan. Krisis solvabilitas ditetapkan oleh pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewa Perwakilan Rakyat. Data berikut ini menunjukkan bahwa pendaapatan lain-lain yang sah di tingkat kabupaten mengalami penurunan sekita 2 persen; ini mungkin menunjukkan jumlah keadaan yang memerlukan dana darurat seperti misalnya gempa bumi, banjir, dan lain-lainnya berkurang di tahun 2008 dibandingan dengan kejadian yang sama di tahun 2007.
Tabel 6: Dana Lain-lain yang Sah di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan
2006
2007
2008
1. Seluruh Provinsi
2. Seluruh Kabupaten/Kota
3. Indonesia (jumlah)
4. Pertumbuhan untuk Indonesia
5.166
2.693
7.859
-
6.314
20.125
26.439
236,42%
7.316
18.602
25.918
-1,97%
2.5. Pinjaman Daerah

Pengertian dan Batasan Pinjaman.
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pemerintah pusat yang dalam hal ini Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman pemerintah daerah dengan memperhatikan hal-hal berikut:
1. keadaan dan perkiraan perkembangan perekonomian nasional,
2. tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan
Penentuan batas maksimum tersebut dilakukan selambat-lambatnya bulan Agustus untuk tahun anggaran berikutnya dan harus sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar negeri, dan pelanggaran terhadapnya dikenakan sanksi administrative berupa oenundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran dana perimbangan oleh Menteri Keuangan.
Sumber Pinjaman.
Pinjaman daerah dapat bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan non bank, serta masyarakat.
Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah pusat dananya bisa dari dalam negeri atau dari luar negeri. Pinjaman pemerintah pusat yang dananya berasal dari luar negeri dapat dinyatakan dalam mata uang rupiah atau mata uang asing melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada pemerintah daerah antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah yang bersangkutan. Pinjaman daerah yang berasal dari pemerintah daerah lainnya, lembaga keuangan bank dan bukan bank dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan ke dua belah pihak, sedangkan yang bersumber dari masyarakat berupa obligasi daerah diterbitkan melalui pasar modal.

Jangka Waktu dan Penggunaan Pinjaman.
Pinjaman daerah mungkin berupa:
1. Pinjaman jangka pendek, yang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman jangka pendek ini hanya dapat dipergunakan untuk menutup kekurangan arus kas dan dapat dilaksanakan tanpa minta persetujuan DPRD.
2. Pinjaman jangka menengah, yang merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk membiayai penyediaan layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan dan harus mendapatkan persetujuan DPRD sebelumnya.
3. Pinjaman jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk membiayai proyek investasi yang menghasilkan penerimaan dan harus mendapatkan persetujuan DPRD sebelumnya.
Persyaratan Pinjaman.
Pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pinjaman harus memperhatikan beberapa ketentuan dan persyaratan, yakni:
1. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah, serta pinjaman dari pihak lain tidak boleh dipakai sebagai jaminan;
2. Pemerintah daerah yang bersangkutan tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat.
3. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum APBD tahun sebelumnya;
4. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan oleh pemerintah pusat; dan Obligasi Daerah. Pemerintah daerah dapat menerbitkan obligasi daerah dalam mata uang rupiah di pasar modal domestik yang nilai nominalnya pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominalnya pada saat diterbitkan. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan untuk obligasi daerah yang akan dikeluarkan. Pemerintah pusat tidak menjamin obligasi daerah.
Prosedur dan Pengelolaan Penerimaan Obligasi Daerah.
Penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah, di mana ditentukan bahwa kepala daerah terlebih dahulu harus mendapatkan persetujuan DPRD dan dari pemerintah pusat. Persetujuan tersebut hanya diberikan atas nilai bersih maksimal obligasi daerah yang akan diterbitkan pada saat penetapan APBD. Nilai tersebut harus telah meliputi pembayaran semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan obligasi daerah dimaksud.
Penerbitan obligasi daerah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal, yang antara lain harus mencatumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga;
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pengelolaan obligasi daerah diselenggarakan oleh kepala daerah yang sekurang-kurangnya meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk kebijakan pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio pinjaman daerah;
c. penerbitan obligasi daerah;
d. penjualan obligasi daerah melalui lelang;
e. pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.
Hasil Penjualan Obligasi Daerah dan Peruntukannya.

Pemerintah daerah dapat mengeluarkan obligasi daerah untuk membiayai investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat bagi masyarakat. Penerimaan dari investasi sektor publik yang dibiayai melalui obligasi daerah digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok obligasi daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas daerah. Dana untuk membayar bunga dan pokok pinjaman disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Dalam hal pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana yang disediakan, Kepala Daerah melakukan pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan perubahan APBD.
Pelaporan dan Sanksi.
Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan dan pemerintah daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada pemerintah pusat setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Kalau laporan tersebut tidak dibuat, pemerintah pusat dapat menunda penyaluran dana perimbangan yang menjadi hak pemerintah daerah yang bersangkutan. Sedangkan kalau pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya kepada pemerintah pusat, kewajiban membayar pinjaman tersebut diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan Negara yang menjadi hak pemerintah daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih lanjut mengenai pinjaman daerah termasuk obligasi daerah diatur dengan Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan

Kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis berdasarkan pembahasan di atas adalah sebagai berikut:
3.1.1. Kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat di daerah.
3.1.2. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsistem keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas di antara kedua tingkat pemerintahan. Pemberian sumber keuangan Negara kepada pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperlihatkan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
3.1.3. Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain dan penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
3.1.4. Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan suatu daerah terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaannya bisa bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
3.1.5. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak lain sehingga pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar kembali. Pinjaman daerah dapat bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan non bank, serta masyarakat. Pinjaman daerah dapat berupa pinjaman jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar : Udayana University Press.
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomo Makro : Suatu Pengantar - Edisi 5. Jakarta : Salemba Empat.
Virgantari, Kus. 2010. Analisis Faktor yang Menentukan Pelarian Modal (Capital Flight) dan Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia . Jakarta : Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Istikomah, Navik. 2003. Analisis Faktor - faktor yang Mempengaruhi "Capital Flight" di Indonesia. Bandung : Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. PP.13 - 31.

0 Response to "PAPER PEMBANGUNAN DAERAH"

Post a Comment

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel