PAPER PEMBANGUNAN DAERAH
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Negara Indonesia merupakan Negara Kesatuan yang menganut asas
desentralisasi. Desentralisasi itu sendiri sebenarnya mengandung dua
pengertian utama, yaitu, Desentralisasi merupakan pembentukan daerah otonom
dan penyerahan wewenang tertentu kepadanya oleh pemerintah pusat.
Desentralisasi dapat pula berarti penyerahan wewenang tertentu kepada
daerah otonom yang telah dibentuk oleh pemerintah pusat.
Sistem sentralisasi yang pernah di terapkan, di mana semua urusan negara
menjadi urusan pusat, pusat dalam hal ini pemerintahan yang dipusatkan pada
pemerintah pusat, pusat memegang semua kendali atas semua wilayah atau
daerah di Indonesia, dan daerah harus melaksanakan apa yang menjadi
kebijakan pemerintah pusat.
Dalam penjelasan tersebut, daerah dapat diartikan bahwa daerah Indonesia
dibagi dalam daerah provinsi, daerah provinsi dibagi dengan daerah yang
lebih kecil. Dengan penerapan sistem terpusat di segala bidang kehidupan
ternyata tidak dapat menciptakan kemakmuran rakyat yang merata di seluruh
daerah, karena jauhnya jangkauan dari pusat, sehingga kebanyakan daerah
yang jauh dari pemerintah pusat kurang mendapatkan perhatian, dan tujuan
membangun Good Governence belum dapat terwujud. Berakhirnya rezim
orde baru, berganti dengan era reformasi, mengubah cara pandang untk
mewujudkan Good Governence, salah satunya dengan adanya otonomi
daerah, karena Otonomi Daerah dapat mengembangkan hubungan antara
pemerintah pusat dan daerah
Pembangunan ekonomi saat ini di negara kita (indonesia) selama
masa pemerintahan orde baru lebih mementingkan atau memusatkanpada
pertumbuhan ekonomi, ternyata tidak membuat wilayah daerahtanah air dapat
berkembang dengan baik. Sebagai hasil pembangunan selama ini lebih
dikonsentrasikan di Pusat Jawa atau di Ibukota, hal ini merupakan sebagai
proses pembangunan dan peningkatan kemakmuran. Pada tingkat nasional memang
laju pertumbuhan ekonomi rata-rata pertahun cukup tinggi dan tingkat
pendapatan perkapita naik terus setiap tahun hingga krisis terjadi. Namun
dilihat pada tingkat regional, kesenjangan pembangunan ekonomi antar
propinsi makin membesar.
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1 Apa itu pembangunan daerah, otonomi, serta bagaimana hubungan
keduanya?
1.2.2. Apa perbedaan otonomi pada tingkat provinsi dan kabupaten?
1.2.3. Apa saja prinsip-prinsip pembiayaan pemerintah daerah?
1.2.4. Apa saja sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah?
1.2.5. Apa saja sumber pendapatan daerah yang berasal dari pinjaman?
1.3. Tujuan
1.3.1. Menganalisa mengenai pembangunan daerah, otonomi, serta hubungan
keduanya
1.3.2. Menganalisa perbedaan otonomi pada tingkat provinsi dan kabupaten
1.3.3. Menganalisa prinsip-prinsip pembiayaan pemerintah daerah
1.3.4. Menganalisa sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah
1.3.5. Menganalisa sumber-sumber potensial pendapatan suatu daerah
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pembangunan Daerah, Otonomi, Serta Hubungan Keduanya
Pembangunan Daerah
Pemerintah daerah memiliki kesempatan lebih luas untuk memperbaiki kondisi
pelayanan publik, perkembangan perekonomian daerah, serta dalam
mengembangkan berbagai terobosan baru dalam pengelolaan pemerintahan
daerah. Daerah-daerah semakin memiliki kebebasan untuk mengembangkan
wilayahnya sesuai kebutuhan masyarakat lokal. Kewenangan pemerintah daerah
melalui otonomi daerah akan memberikan pelayanan maksimal kepada para
pelaku ekonomi di daerah, baik lokal, nasional, regional maupun global.
Otonomi daerah juga akan mendorong munculnya aktivitas perekonomian dan
akselerasi pertumbuhan ekonomi di daerah perbatasan dan tertinggal. Melalui
kewenangan yang dimilikinya untuk mengatur dan mengurus kepentingan
masyarakat, pemerintah daerah akan berupaya untuk meningkatkan perekonomian
sesuai dengan kondisi, kebutuhan, dan kemampuannya. Jadi kebijakan otonomi
daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas daerah akan memberikan
kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan meningkatkan
perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian daerah akan
membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan kesejahteraan rakyat
di daerah.
Prinsip Otonomi Daerah
Sejak ketetapan MPR No. XXI Tahun 1996 prinsip dalam otonomi daerah
bersifat seluas-luasnya dan kemudian berkembang menjadi otonomi daerah yang
luas, nyata dan bertanggung jawab. Kewenangan otonomi yang luas adalah
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan pemerintahan yang mencakup
kewenangan semua bidang pemerintahan, kecuali kewenangan di bidang politik
luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiscal, agama,
serta kewenangan di bidang lain yang ditetapkan dengan Peraturan
Pemerintah. Yang dimaksud dengan otonomi nyata adalah keleluasaan daerah
untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintahan di bidang tertentu yang
secara nyata ada dan diperlukan serta tumbuh hidup, dan berkembang di
daerah, sedangkan yang dimaksud dengan otonomi bertanggung jawab adalah
berupa perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan
kewenangan kepada daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang dipikul oleh
daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, berupa peningkatan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan
kehidupan demokrasi, keadilan, pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang
serasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah serta antardaerah
dalam rangka menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Desentralisasi, Dekosentrasi, dan Tugas Pembantuan
Dalam UU No. 32 dan UU No. 33 dikenal adanya desentralisasi kewenangan,
pelimpahan kewenangan, dan penugasan dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan
oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus
urusan pemerintahan dalam system Negara Kesatuan Republik Indonesia. Yang
dimaksud dengan daerah otonom adalah kesatuan masyarakat hukum yang
mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan mengurus urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri
berdasarkan aspirasi masyarakat dalam system Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah pusat
kepada Gubernur sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertical
di wilayah tertentu. UU No. 32 Tahun 2004 memperpendek jangkauan asas
dekonsentrasi yang dibatasi hanya sampai pemerintahan provinsi dan hanya
untuk kegiatan bersifat nonfisik. Sedangkan tugas pembantuan adalah
penugasan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dan/atau desa dari
pemerintah provinsi kepada kabupaten/kota dan/atau desa serta dari
pemerintahan kabupaten/kota kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu
yang bersifat fisik.
2.2. Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan subsistem
keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas di antara kedua tingkat
pemerintahan. Pemberian sumber keuangan Negara kepada pemerintahan daerah
dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas
oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan memperlihatkan
stabilitas dan keseimbangan fiskal. Perimbangan keuangan antara pemerintah
pusat dan pemerintahan daerah merupakan satu system yang menyeluruh dalam
rangka pendanaan penyelenggaraan asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan
tugas pembantuan.
PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai
pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan
desentralisasi. Dana perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiscal
antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan antarpemerintah daerah.
Pinjaman derah bertujuan untuk memperoleh sumber pembiayaan dalam rangka
penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah. Lain-lain pendapatan bertujuan
untuk memberi peluang kepada daerah untuk memperoleh pendapatan selain
pendapatan yang disebutkan di atas.
Penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi didanai APBD. Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan
dekonsentrasi dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan
dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah diikuti dengan pemberian
dana. Dengan demikian penyelenggaraan urusan pemerintah yang dilaksanakan
oleh gubernur dalam rangka pelaksanaan dekonsentrasi dan penyelenggaraan
urusan pemerintah pusat yang dilaksanakan oleh gubernur dalam rangka tugas
pembantuan didanai APBN.
2.3. Prinsip-Prinsip Pembiayaan Pemerintah Daerah
2.3.1. Pembiayaan Daerah
Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah daerah, baik
penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan diterima
kembali, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama dimaksudkan
untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran. Penerimaan
pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil divestasi.
Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk pembayaran
kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain dan
penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
2.3.2. Penerimaan Pembiayaan
Penerimaan pembiayaan adalah semua penerimaan Rekening Kas Umum Daerah
antara lain berasal dari penerimaan pinjaman, penjualan obligasi
pemerintah, hasil privatisasi perusahaan daerah, penerimaan kembali
pinjaman yang diberikan kepada pihak ketiga, penjualan investasi permanen
lainnya dan pencairan dana cadangan.
Penerimaan pembiayaan diakui pada saat diterima pada Rekening Kas Umum
Daerah. Akuntansi penerimaan pembiayaan dilaksanakan berdasarkan azas
bruto, yaitu dengan membukukan penerimaan bruto dan tidak mencatat jumlah
nettonya (setelah dikompensasikan dengan pengeluaran). Pencairan Dana
Cadangan mengurangi Dana Cadangan yang bersangkutan.
Penerimaan pembiayaan mencakup :
a. sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA)
b. pencairan dana cadangan
c. hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
d. penerimaan pinjaman daerah
e. penerimaan kembali pemberian pinjaman
f. penerimaan piutang daerah.
2.3.3. Pengeluaran Pembiayaan
Pengeluaran pembiayaan adalah semua pengeluaran Rekening Kas Umum Daerah
antara lain pemberian pinjaman kepada pihak ketiga, penyertaan modal
pemerintah, pembayaran kembali pokok pinjaman dalam periode tahun anggaran
tertentu dan pembentukan dana cadangan. Pengeluaran pembiayaan diakui pada
saat dikeluarkan dari Rekening Kas Umum Daerah.
Pembentukan Dana Cadangan menambah Dana Cadangan yang bersangkutan.
Hasil-hasil yang diperoleh dari pengelolaan Dana Cadangan di pemerintah
daerah merupakan penambah Dana Cadangan. Hasil tersebut dicatat sebagai
pendapatan dalam pos pendapatan asli daerah lainnya.
Pengeluaran pembiayaan mencakup:
a. pembentukan dana cadangan
b. penerimaan modal (investasi) pemerintah daerah
c. pembayaran pokok utang
d. pemberian pinjaman daerah.
2.3.4. Pembiayaan Netto
Pembiayaan netto adalah selisih antara penerimaan pembiayaan setelah
dikurangi pengeluaran pembiayaan dalam periode tahun anggaran tertentu.
Selisih lebih/kurang antara penerimaan dan pengeluaran pembiayaan selama
satu periode pelaporan dicatat dalam pos Pembiayaan Netto.
Sisa Lebih/kurang Pembiayaan Anggaran (SILPA/SiKPA)
Sisa lebih/kurang pembiayaan anggaran adalah selisih lebih/kurang antara
realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu periode pelaporan. Selisih
lebih/kurang antara realisasi penerimaan dan pengeluaran selama satu
periode pelaporan dicatat dalam pos SiLPA/SiKPA.
Sisa lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA) mencakup
pelampauan penerimaan PAD, pelampauan penerimaan dana perimbangan,
pelampauan penerimaan lain-lain pendapatan daerah yang sah, pelampauan
penerimaan pembiayaan, penghematan belanja, kewajiban kepada fihak ketiga
sampai dengan akhir tahun belum terselesaikan, dan sisa dana kegiatan
lanjutan.
Dana Cadangan
Dana Cadangan adalah dana yang dibentuk guna membiayai kebutuhan dana yang
tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran. Dana Cadangan dibentuk
untuk suatu tujuan tertentu secara spesifik. Pembentukan Dana Cadangan
menggunakan rekening terpisah dari rekening kas daerah (Pembiayaan –
Transfer ke Dana Cadangan).
Penggunaan Dana Cadangan harus sesuai tujuan yang telah ditetapan
Pemerintah daerah dapat membentuk dana cadangan guna mendanai kegiatan yang
penyediaan dananya tidak dapat sekaligus/sepenuhnya dibebankan dalam satu
tahun anggaran.
Pembentukan dana cadangan ditetapkan dengan peraturan daerah. Peraturan
daerah mencakup penetapan tujuan pembentukan dana cadangan, program dan
kegiatan yang akan dibiayai dari dana cadangan, besaran dan rincian tahunan
dana cadangan yang harus dianggarkan dan ditransfer ke rekening dana
cadangan, sumber dana cadangan dan tahun anggaran pelaksanaan dana
cadangan.
Rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan dibahas
bersamaan dengan pembahasan rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Penetapan rancangan peraturan daerah tentang pembentukan dana cadangan
ditetapkan oleh kepala daerah bersamaan dengan penetapan rancangan
peraturan daerah tentang APBD.
Dana cadangan dapat bersumber dari penyisihan atas penerimaan daerah,
kecuali dari dana alokasi khusus, pinjaman daerah dan penerimaan lain yang
penggunaannya dibatasi untuk pengeluaran tertentu berdasarkan peraturan
perundang-undangan. Dana cadangan ditempatkan pada rekening tersendiri.
Penerimaan hasil bunga/deviden rekening dana cadangan dan penempatan dalam
portofolio dicantumkan sebagai penambah dana cadangan berkenaan dalam
daftar dana cadangan pada lampiran rancangan peraturan daerah tentang APBD.
Pembentukan dana cadangan dianggarkan pada pengeluaran pembiayaan dalam
tahun anggaran yang berkenaan.
Pencairan dana cadangan digunakan untuk menganggarkan pencairan dana
cadangan dari rekening dana cadangan ke rekening kas umum daerah dalam
tahun anggaran berkenaan. Jumlah yang dianggarkan yaitu sesuai dengan
jumlah yang telah ditetapkan dalam peraturan daerah tentang pembentukan
dana cadangan berkenaan.
Penggunaan atas dana cadangan yang dicairkan dari rekening dana cadangan ke
rekening kas umum daerah dianggarkan dalam belanja langsung SKPD pengguna
dana cadangan berkenaan, kecuali diatur tersendiri dalam peraturan
perundang-undangan.
Hasil Penjualan Kekayaan Daerah yang dipisahkan
Hasil Penjualan Aset yang Dipisahkan adalah penerimaan daerah yang
bersumber dari hasil penjualan aset daerah yang dipisahkan dari kekayaan
daerah, misalnya penjualan aset Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM). Hasil
penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan digunakan antara lain untuk
menganggarkan hasil penjualan perusahaan milik daerah/BUMD dan penjualan
aset milik pemerintah daerah yang dikerjasamakan dengan pihak ketiga, atau
hasil divestasi penyertaan modal pemerintah daerah.
Penerimaan Pinjaman Daerah
Pinjaman Daerah adalah penerimaan daerah yang bersumber dari dana pihak
ketiga (kreditur) yang harus dikembalikan di kemudian hari sesuai dengan
perjanjian yang disepakati antara pemda dengan kreditur dan akan menambah
utang daerah.
Penerimaan pinjaman daerah digunakan untuk menganggarkan penerimaan
pinjaman daerah termasuk penerimaan atas penerbitan obligasi daerah yang
akan direalisasikan pada tahun anggaran berkenaan.
Pemberian Pinjaman daerah dan Penerimaan Kembali Pemberian Pinjaman
Daerah
Pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan pinjaman yang diberikan
kepada pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah lainnya.
Penerimaan Pelunasan Piutang adalah penerimaan daerah yang bersumber dari
pelunasan piutang yang diterima dari pihak ketiga atau debitur dan akan
mengurangi piutang daerah.
Penerimaan kembali pemberian pinjaman digunakan untuk menganggarkan posisi
penerimaan kembali pinjaman yang diberikan kepada pemerintah pusat dan/atau
pemerintah daerah lainnya.
Penerimaan Piutang Daerah
Penerimaan piutang digunakan untuk menganggarkan penerimaan yang bersumber
dari pelunasan piutang fihak ketiga, seperti berupa penerimaan piutang
daerah dari pendapatan daerah, pemerintah, pemerintah daerah lain, lembaga
keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank dan penerimaan piutang lainnya.
Investasi Pemerintah Daerah
Investasi pemerintah daerah digunakan untuk mengelola kekayaan pemerintah
daerah yang diinvestasikan baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
Investasi jangka pendek merupakan investasi yang dapat segera
diperjualbelikan/dicairkan, ditujukan dalam rangka manajemen kas dan
beresiko rendah serta dimiliki selama kurang dari 12 (duabelas) bulan.
Investasi jangka pendek mencakup deposito berjangka waktu tiga bulan sampai
dengan 12 bulan yang dapat diperpanjang secara otomatis, pembelian Surat
Utang Negara (SUN), Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat
Perbendaharaan Negara (SPN).
Investasi jangka panjang digunakan untuk menampung penganggaran investasi
yang dimaksudkan untuk dimiliki lebih dari 12 bulan yang terdiri dari
investasi permanen dan non-permanen.
Investasi jangka panjang antara lain surat berharga yang dibeli pemerintah
daerah dalam rangka mengendalikan suatu badan usaha, misalnya pembelian
surat berharga untuk menambah kepemilikan modal saham pada suatu badan
usaha, surat berharga yang dibeli pemerintah daerah untuk tujuan menjaga
hubungan baik dalam dan luar negeri, surat berharga yang tidak dimaksudkan
untuk dicairkan dalam memenuhi kebutuhan kas jangka pendek.
Investasi permanen bertujuan untuk dimiliki secara berkelanjutan tanpa ada
niat untuk diperjualbelikan atau tidak ditarik kembali, seperti kerjasama
daerah dengan pihak ketiga dalam bentuk penggunausahaan/pemanfaatan aset
daerah, penyertaan modal daerah pada BUMD dan/atau badan usaha lainnya dan
investasi permanen lainnya yang dimiliki pemerintah daerah untuk
menghasilkan pendapatan atau meningkatkan pelayanan kepada masyarakat.
Investasi non permanen bertujuan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan
atau ada niat untuk diperjualbelikan atau ditarik kembali, seperti
pembelian obligasi atau surat utang jangka panjang yang dimaksudkan untuk
dimiliki sampai dengan tanggal jatuh tempo, dana yang disisihkan pemerintah
daerah dalam rangka pelayanan/pemberdayaan masyarakat seperti bantuan modal
kerja, pembentukan dana secara bergulir kepada kelompok masyarakat,
pemberian fasilitas pendanaan kepada usaha mikro dan menengah.
Investasi jangka panjang pemerintah daerah dapat dianggarkan apabila jumlah
yang akan disertakan dalam tahun anggaran berkenaan telah ditetapkan dalam
peraturan daerah tentang penyertaan modal dengan berpedoman pada ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Investasi pemerintah daerah, dianggarkan dalam pengeluaran pembiayaan.
Divestasi pemerintah daerah dianggarkan dalam penerimaan pembiayaan pada
jenis hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan. Divestasi pemerintah
daerah yang dialihkan untuk diinvestasikan kembali dianggarkan dalam
pengeluaran pembiayaan pada jenis penyertaan modal (investasi) pemerintah
daerah.
Penerimaan hasil atas investasi pemerintah daerah dianggarkan dalam
kelompok pendapatan asli daerah pada jenis hasil pengelolaan kekayaan
daerah yang dipisahkan.
Pembayaran Pokok Utang
Pembayaran Utang Pokok yang Jatuh tempo adalah pengeluaran daerah yang
digunakan untuk membayar utang pokok yang jatuh tempo. Pembayaran pokok
utang digunakan untuk menganggarkan pembayaran kewajiban atas pokok utang
yang dihitung berdasarkan perjanjian pinjaman jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
2.4. Sumber-Sumber Pendapatan Daerah
Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan
daerah dan pembiayaan. Pendapatan suatu daerah terdiri dari pendapatan asli
daerah, dana perimbangan, dan lain-lain pendapatan, sedangkan pembiayaannya
bisa bersumber dari: sisa lebih perhitungan anggaran daerah, penerimaan
pinjaman daerah, dana cadangan daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah
yang dipisahkan. Selanjutnya adalah meliputi masing-masing komponen dari
pendapatan daerah dan sumber pembiayaan lainnya sudah dianggap cukup jelas.
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD).
PAD bersumber dari pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain pendapatan asli daerah yang
sah (yang meliputi hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan,
jasa giro, pendapatan bunga, keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap
mata uang asing, dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat
dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah. Dalam
upaya meningkatkan PAD, pemerintah daerah dilarang menetapkan peraturan
tentang pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, lalu lintas barang
dan jasa antardaerah, dan kegiatan impor/ekspor, sehingga menyebabkan
ekonomi biaya tinggi. Ketentuan mengenai pajak daerah, retribusi daerah,
dan hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan dilaksanakan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan.
2. Dana Perimbagan
Dana perimbangan terdiri atas: (i) dana bagi hasil, (ii) dana alokasi umum,
dan (iii) dana alokasi khusus, yang jumlahnya ditetapkan setiap tahun
anggaran dalam APBN.
(i). Dana Bagi Hasil. Dana ini bersumber dari pajak dan sumber
daya alam. Dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas Pajak
Bumi dan Banguan (PBB), Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB),
dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 dibagi antara pusat, provinsi, dan
kabupaten/kota sebagai pada tabel 1. Sedangkan dana bagi hasil dari sumber
daya alam yang berasal dari: kehutanan, pertambangan umum, perikanan,
pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, dan pertambangan panas
bumi dibagi sebagai tabel 2.
Tabel 1: Pembagian Dana Bagi Hasil dari Pajak Antar Pemerintahan
Keterangan
|
Pusat
|
Provinsi
|
Kab/Kota
|
Penerimaan PBB (-9% bea pemungutan)
10% dari bagian pemerintah Pusat |
9%
-
|
16,2%
-
|
64,8%
65%1)
35%2)
|
Penerimaan BPHTB3)
20% dari bagian pemerintah Pusat |
20%
-
|
16%
-
|
64%
Rata1)
|
Penerimaan PPh Ps 25, Ps 29 dan Psl 21 (dilaksanakan tiap triwulan) |
80%
|
8%
|
12%
|
1)
Dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten dan kota
2)
Dibagikan sebagai insentif kepada daerah kabupaten dan kota yang realisasi
tahun sebelumnya mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu
3)
BPHTB = Bea Perolehan Ha katas Tanah dan Bangunan
Sumber: UU No. 33 pasal 12 dan 13
Tabel 2: Pembagian Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam antar Pemerintahan
Keterangan |
Pusat
|
Provinsi*
|
Kab/Kota*
|
Dana Bagi Hasil dari Kehutanan
-Iuran Hak Pengusahaan Hutaan (IHPH) -Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) -Dana Reboisasi |
-
20%
20%
60%2)
|
-
16%
16%
-
|
-
64%
32%
32%rata1)
40%3)
|
Dana Bagi Hasil dari Pertamb. Umum
- Penerimaan iuran tetap - Royalti |
-
20%
20%
|
-
16%
16%
|
-
64%
32%
32%lain4)
|
Dana Bagi Hasil Perikanan:
-Penerimaan Pungutan Pengusahaan -Penerimaan Pungutan Hasil |
20%
|
-
|
80%5
|
Dana Bagi Hasil Pertamb. Minyak Bumi (setelah dikurangi pajak) 7) |
84,5%
|
3%
|
0,5%6)
6% penghasil
6% lainnya 4)
|
Dana Bagi Hasil Pertamb. Gas Bumi 7) (setelah dikurangi pajak) |
69,5%
|
6%
|
0,5% 6)
12% penghasil
12% lainnya 4)
|
Dana Bagi Hasil Pertambangan Panas Bumi |
20%
|
16%
|
32% penghasil
32% lainnya
|
*Provinsi, Kab/Kota berarti provinsi atau kabupaten/kota penghasil
1)
Rata untuk semua kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan
2)
Untuk rehabilitasi hutan dan lahan secara nasional
3)
Untuk kegiatan rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil
4)
Untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan, dibagi rata
5)
Dibagikan dengan porsi yang sama besar kepda kabupaten/kota di seluruh
Indonesia
6)
Dialokasikan untuk menambah anggaran pendidikan dasar (0,1% di provinsi,
0,2% di kabupaten/kota penghasil, dan o,2% di kabupaten/kota lain di
provinsi bersangkutan).
7)
Tidak lebih dari 130% dari asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi
dalam APBN tahun berjalan, sedangkan kalau melebihi 130% penyalurannya
dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan. Pelanggaran akan dikenakan
sanksi administrasi berupa pemotongan atas penyaluran dana bagi hasil
sektor minyak bumi dan gas bumi.
Sumber: UU No. 33 Tahun 2004, Pasal 14-Pasal 26
Tabel 3 menunjukkan jumlah dana bagi hasil untuk seluruh kabupaten/kota dan
seluruh provinsi di Indonesia. Dana bagi hasil dari pajak baik di tingkat
kabupaten/kota maupun di tingkat provinsi selalu mengalami kenaikan dan
lebih besar dari dana bagi hasil dari sumber daya alam. Secara keseluruhan
dana dari sumber ini mengalami kenaikan dari tahun ke tahun sekitar 1
sampai 6 persen.
Tabel 3: Dana Bagi Hasil di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan
|
2006
|
2007
|
2008
|
1. Seluruh Kabupaten/Kota (2+3)
2. Dana Bagi Hasil dari Pajak 3. Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam 4. Seluruh Provinsi (5+6) 5. Dana Bagi Hasil dari Pajak 6. Dana Bagi Hasil dari Sumber Daya Alam 7. Dana Bagi Hasil Indonesia (1+4) 8. Kenaikan per tahun untuk Indonesia |
41.149
22.441
18.708
19.063
10.281
8.782
60.212
-
|
41.807
21.908
19.899
19.259
12.613
6.646
61.066
1,42%
|
43.628
25.628
18.171
21.067
13.567
7.500
64.695
5,94%
|
(ii) Dana Alokasi Umum. Jumlah DAU keseluruhan ditentukan
sekurang-kurangnya 26 persen dari pendapatan dalam negeri neto yang
ditetapkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Jumlah ini
adalah untuk seluruh provinsi dan seluruh kabupaten/kota. Dasar untuk
menentukan berapa jumlah DAU yang diterima oleh satu daerah (provinsi,
kabupaten/kota) adalah apa yang disebut celah fiskal dikurangi dengan
kapasitas fiskal, sedangkan alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah gaji
Pegawai Negeri Sipil Daerah.
Kebutuhan fiskal daerah merupakan kebutuhan pendanaan daerah untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan diukur
secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indeks
kemahalan konstruksi, produk domestik regional bruto per kapita, dan indeks
pembangunan manusia. Kapasitas fiskal daerah merupakan sumber pendanaan
daerah yang berasal dari PAD dan dana bagi hasil.
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan rasio kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. DAU atas
dasar celah fiskal untuk satu daerah provinsi dihitung berdasarkan
perkalian bobot daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh
daerah provinsi. Bobot daerah provinsi merupakan perbandingan antara celah
fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan total celah fiskal seluruh
daerah provinsi. Perhitungan yang sama berlaku juga untuk daerah
kabupaten/kota.
Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol (kebutuhan
fiskalnya = kapasitas fiskalnya) menerima DAU sebesar alokasi dasar. Daerah
yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut lebih
kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah
dikurangi nilai celah fiskal. Daerah yang memiliki nilai celah fiskal
negatif dan nilai negatif tersebut sama atau lebih besar dari alokasi dasar
tidak menerima DAU.
Kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal dihitung dengan memakai data yang
diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau lembaga pemerintah
yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan.
Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU dengan memperhatikan
pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan terhadap
kebijakan otonomi daerah. Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten,
dan kota ditetapkan dengn Keputusan Presiden dan disalurkan setiap bulan
sebelum bulan bersangkutan, masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas)
dari DAU daerah yang bersangkutan. Data DAU untuk seluruh provinsi dan
seluruh kabupaten/kota disajikan pada tabel berikut:
Tabel 4: DAU Provinsi dan Kabupaten/Kota di Indonesia, 2006-2008 (miliar
Rp)
Keterangan
|
2006
|
2007
|
2008
|
Seluruh Provinsi
Seluruh Kabupaten/Kota Jumlah seluruh DAU (Indonesia) Kenaikan untuk Indonesia |
14.571
128.898
143.469
-
|
16.478
148.956
165.434
15,31%
|
17.825
158.758
176.583
6,74%
|
` Jumlah DAU yang diterima oleh kabupaten/kota sekitar 9 kali lipat
dibandingkan dengan yang diterima oleh semua provinsi. Salah satu sebab
adalah jumlah kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
provinsi di Indonesia. Namun, tidak ada informasi mengenai DAU yang
diterima oleh masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
(iii) Dana Alokasi Khusus (DAK). DAK dialokasikan kepada daerah
tertentu yang ditetapkan setiap tahun dalam APBN untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan daerah dan sesuai dengan fungsi yang telah
ditetapkan dalam APBN. Pemerintah pusat menetapkan kriteria DAK yang
meliputi kriteria umum, kriteria khusus, dan kriteria teknis. Kriteria umum
ditetapkan dengan mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD.
Kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan
perundang-undangan dan karakteristik daerah. Dan kriteria teknis ditetapkan
oleh kementrian Negara/departemen teknis.
Daerah penerima DAK wajib menyediakan dana pendamping sekurang-kurangnya
10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. Dana pendamping tersebut dianggarkan
dalam APBD. Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan
menyediakan dana pendamping. Dana DAK yang diterima oleh provinsi dan
kabupaten/kota di Indonesia tahun 2006-2008 adalah sebagai berikut:
Tabel 5: DAK Provinsi dan Kabupaten di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan
|
2006
|
2007
|
2008
|
Seluruh Provinsi
Seluruh Kabupaten/Kota Jumlah seluruh DAK (Indonesia) Kenaikan untuk Indonesia |
20
11.773
11.793
-
|
775
16.976
17.751
50,52%
|
1.491
20.407
21.898
23,36%
|
Jumlah DAK yang diterima oleh kabupaten/kota hampir 600 kali lipat (2006),
22 kali lipat (2007), dan 14 kali lipat (2008) dibandingkan dengan jumlah
DAK yang diterima oleh semua provinsi untuk tahun yang sama. Salah satu
sebab adalah jumlah kabupaten/kota jauh lebih banyak dibandingkan dengan
jumlah provinsi di Indonesia. Beberapa penulis mengatakan bahwa banyak
provinsi dan kabupaten/kota yang tidak mengusahakan DAK. DAK secara
keseluruhan, yakni untuk seluruh provinsi dan untuk seluruh kabupaten/kota
mengalami kenaikan tiap tahun, namun tidak ada informasi mengenai DAK yang
diterima masing-masing provinsi dan kabupaten/kota.
3. Lain-lain Pendapatan.
Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan dana
darurat. Pendapatan hibah merupakan bantuan yang tidak mengikat. Hibah
kepada daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui pemerintah
pusat. Hibah dituangkan dalam satu naskah perjanjian antara pemerintah
daerah dan pemberi hibah. Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian.
Tata cara pemberian, penerimaan dan penggunaan hibah, baik dari dalam
negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pemerintah mengalokasikan dana darurat yang berasal dari APBN untuk
keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau
peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh daerah dengan
menggunakan sumber APBD. Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana
nasional dan/atau peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden. Pemerintah
dapat mengalokasikan dana darurat pada daerah yang dinyatakan mengalami
krisis solvabilitas berdasarkan evaluasi pemerintah sesuai dengan peraturan
Perundang-undangan. Krisis solvabilitas ditetapkan oleh pemerintah setelah
berkonsultasi dengan Dewa Perwakilan Rakyat. Data berikut ini menunjukkan
bahwa pendaapatan lain-lain yang sah di tingkat kabupaten mengalami
penurunan sekita 2 persen; ini mungkin menunjukkan jumlah keadaan yang
memerlukan dana darurat seperti misalnya gempa bumi, banjir, dan
lain-lainnya berkurang di tahun 2008 dibandingan dengan kejadian yang sama
di tahun 2007.
Tabel 6: Dana Lain-lain yang Sah di Indonesia, 2006-2008 (miliar Rp)
Keterangan
|
2006
|
2007
|
2008
|
1. Seluruh Provinsi
2. Seluruh Kabupaten/Kota 3. Indonesia (jumlah) 4. Pertumbuhan untuk Indonesia |
5.166
2.693
7.859
-
|
6.314
20.125
26.439
236,42%
|
7.316
18.602
25.918
-1,97%
|
2.5. Pinjaman Daerah
Pengertian dan Batasan Pinjaman.
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari pihak
lain sehingga pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar
kembali. Pemerintah pusat yang dalam hal ini Menteri Keuangan menetapkan
batas maksimal kumulatif pinjaman pemerintah daerah dengan memperhatikan
hal-hal berikut:
1. keadaan dan perkiraan perkembangan perekonomian nasional,
2. tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun
bersangkutan
Penentuan batas maksimum tersebut dilakukan selambat-lambatnya bulan
Agustus untuk tahun anggaran berikutnya dan harus sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada
pihak luar negeri, dan pelanggaran terhadapnya dikenakan sanksi
administrative berupa oenundaan dan/atau pemotongan atas penyaluran dana
perimbangan oleh Menteri Keuangan.
Sumber Pinjaman.
Pinjaman daerah dapat bersumber dari pemerintah pusat, pemerintah daerah
lain, lembaga keuangan bank dan non bank, serta masyarakat.
Pinjaman daerah yang bersumber dari pemerintah pusat dananya bisa dari
dalam negeri atau dari luar negeri. Pinjaman pemerintah pusat yang dananya
berasal dari luar negeri dapat dinyatakan dalam mata uang rupiah atau mata
uang asing melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada pemerintah
daerah antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah yang bersangkutan.
Pinjaman daerah yang berasal dari pemerintah daerah lainnya, lembaga
keuangan bank dan bukan bank dapat dilaksanakan berdasarkan kesepakatan ke
dua belah pihak, sedangkan yang bersumber dari masyarakat berupa obligasi
daerah diterbitkan melalui pasar modal.
Jangka Waktu dan Penggunaan Pinjaman.
Pinjaman daerah mungkin berupa:
1. Pinjaman jangka pendek, yang merupakan pinjaman daerah dalam jangka
waktu kurang atau sama dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran
kembali pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain
seluruhnya harus dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan. Pinjaman
jangka pendek ini hanya dapat dipergunakan untuk menutup kekurangan arus
kas dan dapat dilaksanakan tanpa minta persetujuan DPRD.
2. Pinjaman jangka menengah, yang merupakan pinjaman daerah dalam jangka
waktu lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali
pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi
dalam kurun waktu yang tidak melebihi sisa masa jabatan kepala daerah yang
bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk membiayai penyediaan
layanan umum yang tidak menghasilkan penerimaan dan harus mendapatkan
persetujuan DPRD sebelumnya.
3. Pinjaman jangka panjang, merupakan pinjaman daerah dalam jangka waktu
lebih dari satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman
yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada
tahun-tahun anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian
pinjaman yang bersangkutan. Pinjaman jenis ini dipergunakan untuk membiayai
proyek investasi yang menghasilkan penerimaan dan harus mendapatkan
persetujuan DPRD sebelumnya.
Persyaratan Pinjaman.
Pemerintah daerah yang ingin mendapatkan pinjaman harus memperhatikan
beberapa ketentuan dan persyaratan, yakni:
1. Pendapatan daerah dan/atau barang milik daerah, serta pinjaman dari
pihak lain tidak boleh dipakai sebagai jaminan;
2. Pemerintah daerah yang bersangkutan tidak mempunyai tunggakan atas
pengembalian pinjaman yang berasal dari pemerintah pusat.
3. Jumlah sisa pinjaman daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik
tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan umum
APBD tahun sebelumnya;
4. Rasio kemampuan keuangan daerah untuk mengembalikan pinjaman ditetapkan
oleh pemerintah pusat; dan Obligasi Daerah. Pemerintah daerah
dapat menerbitkan obligasi daerah dalam mata uang rupiah di pasar modal
domestik yang nilai nominalnya pada saat jatuh tempo sama dengan nilai
nominalnya pada saat diterbitkan. Proyek yang dibiayai dari obligasi daerah
beserta barang milik daerah yang melekat dalam proyek tersebut dapat
dijadikan jaminan untuk obligasi daerah yang akan dikeluarkan. Pemerintah
pusat tidak menjamin obligasi daerah.
Prosedur dan Pengelolaan Penerimaan Obligasi Daerah.
Penerbitan obligasi daerah ditetapkan dengan peraturan daerah, di mana
ditentukan bahwa kepala daerah terlebih dahulu harus mendapatkan
persetujuan DPRD dan dari pemerintah pusat. Persetujuan tersebut hanya
diberikan atas nilai bersih maksimal obligasi daerah yang akan diterbitkan
pada saat penetapan APBD. Nilai tersebut harus telah meliputi pembayaran
semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan
obligasi daerah dimaksud.
Penerbitan obligasi daerah wajib mengikuti peraturan perundang-undangan di
bidang pasar modal, yang antara lain harus mencatumkan:
a. nilai nominal;
b. tanggal jatuh tempo;
c. tanggal pembayaran bunga;
d. tingkat bunga (kupon);
e. frekuensi pembayaran bunga;
f. cara perhitungan pembayaran bunga;
g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali obligasi daerah sebelum
jatuh tempo; dan
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan.
Pengelolaan obligasi daerah diselenggarakan oleh kepala daerah yang
sekurang-kurangnya meliputi:
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan obligasi daerah termasuk
kebijakan pengendalian risiko;
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio pinjaman daerah;
c. penerbitan obligasi daerah;
d. penjualan obligasi daerah melalui lelang;
e. pembelian kembali obligasi daerah sebelum jatuh tempo;
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan
g. pertanggungjawaban.
Hasil Penjualan Obligasi Daerah dan Peruntukannya.
Pemerintah daerah dapat mengeluarkan obligasi daerah untuk membiayai
investasi sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat
bagi masyarakat. Penerimaan dari investasi sektor publik yang dibiayai
melalui obligasi daerah digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok
obligasi daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas daerah. Dana untuk
membayar bunga dan pokok pinjaman disediakan dalam APBD setiap tahun sampai
dengan berakhirnya kewajiban tersebut. Dalam hal pembayaran bunga dimaksud
melebihi perkiraan dana yang disediakan, Kepala Daerah melakukan pembayaran
dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada DPRD dalam pembahasan
perubahan APBD.
Pelaporan dan Sanksi.
Seluruh kewajiban pinjaman daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan dalam
APBD tahun anggaran yang bersangkutan dan pemerintah daerah wajib
melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan kewajiban pinjaman kepada
pemerintah pusat setiap semester dalam tahun anggaran berjalan. Kalau
laporan tersebut tidak dibuat, pemerintah pusat dapat menunda penyaluran
dana perimbangan yang menjadi hak pemerintah daerah yang bersangkutan.
Sedangkan kalau pemerintah daerah tidak memenuhi kewajiban membayar
pinjamannya kepada pemerintah pusat, kewajiban membayar pinjaman tersebut
diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari penerimaan Negara
yang menjadi hak pemerintah daerah yang bersangkutan. Ketentuan lebih
lanjut mengenai pinjaman daerah termasuk obligasi daerah diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat ditarik oleh penulis berdasarkan pembahasan di atas
adalah sebagai berikut:
3.1.1. Kebijakan otonomi daerah yang bertujuan untuk pemberdayaan kapasitas
daerah akan memberikan kesempatan bagi daerah untuk mengembangkan dan
meningkatkan perekonomiannya. Peningkatan dan pertumbuhan perekonomian
daerah akan membawa pengaruh yang signifikan terhadap peningkatan
kesejahteraan rakyat di daerah.
3.1.2. Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah merupakan
subsistem keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian tugas di antara
kedua tingkat pemerintahan. Pemberian sumber keuangan Negara kepada
pemerintahan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi didasarkan atas
penyerahan tugas oleh pemerintah pusat kepada pemerintah daerah dengan
memperlihatkan stabilitas dan keseimbangan fiskal.
3.1.3. Pembiayaan daerah adalah seluruh transaksi keuangan pemerintah
daerah, baik penerimaan maupun pengeluaran, yang perlu dibayar atau akan
diterima kembali, yang dalam penganggaran pemerintah daerah terutama
dimaksudkan untuk menutup defisit dan atau memanfaatkan surplus anggaran.
Penerimaan pembiayaan antara lain dapat berasal dari pinjaman dan hasil
divestasi. Sementara, pengeluaran pembiayaan antara lain digunakan untuk
pembayaran kembali pokok pinjaman, pemberian pinjaman kepada entitas lain
dan penyertaan modal oleh pemerintah daerah.
3.1.4. Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi
terdiri atas pendapatan daerah dan pembiayaan. Pendapatan suatu daerah
terdiri dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan, sedangkan pembiayaannya bisa bersumber dari: sisa lebih
perhitungan anggaran daerah, penerimaan pinjaman daerah, dana cadangan
daerah, dan hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan.
3.1.5. Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan pemerintah
daerah menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari
pihak lain sehingga pemerintah daerah tersebut dibebani kewajiban untuk
membayar kembali. Pinjaman daerah dapat bersumber dari pemerintah pusat,
pemerintah daerah lain, lembaga keuangan bank dan non bank, serta
masyarakat. Pinjaman daerah dapat berupa pinjaman jangka pendek, jangka
menengah, dan jangka panjang.
DAFTAR PUSTAKA
Nehen, Ketut. 2016. Perekonomian Indonesia. Denpasar : Udayana
University Press.
Rahardja, Prathama dan Mandala Manurung. 2008. Teori Ekonomo Makro : Suatu Pengantar - Edisi 5. Jakarta : Salemba
Empat.
Virgantari, Kus. 2010.
Analisis Faktor yang Menentukan Pelarian Modal (Capital Flight) dan
Dampaknya terhadap Perekonomian Indonesia
. Jakarta : Tesis Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.
Istikomah, Navik. 2003.
Analisis Faktor - faktor yang Mempengaruhi "Capital Flight" di
Indonesia.
Bandung : Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan. PP.13 - 31.
0 Response to "PAPER PEMBANGUNAN DAERAH"
Post a Comment