PPH BADAN
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Pajak secara bebas dapat dikatakan sebagai suatu kewajiban warga
negara berupa pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat
untuk membiayai berbagai keperluan negara dalam Pembangunan Nasional, tanpa adanya
imbalan secara langsung yang pelaksanaannya diatur dalam Undang-Undang
Perpajakan untuk tujuan kesejahteraan bangsa dan negara. Dengan semakin
berkembangnya kondisi usaha dan bisnis baik ditingkat nasional maupun
internasional, maka penghasilan yang diterima wajib pajak badan dalam negeri
juga meningkat. Badan atau perusahaan merupakan subjek pajak dalam negeri
dimana wajib pajak badan ini merupakan penyumbang bagi penerimaan
negara dari sektor pajak yaitu pajak penghasilan badan.
Dalam hal menjalankan usaha, suatu badan atau perusahaan harus
membuat pembukuan untuk menunjang kegiatan usahanya. Sama halnya dalam
perpajakan, pembukuan juga wajib dibuat oleh wajib pajak yang berbentuk badan
untuk mempermudah menghitung pajaknya. Dalam makalah ini akan dibahas mengenai
wajib pajak badan, kewajiban dan hak wajib pajak badan dalam perpajakan dan
cara penghitungan pajak dari wajib pajak badan.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Badan
Menurut
UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pasal 1
angka 3, Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi
perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN atau BUMD
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi koperasi, dana pensiun,
persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial poltik,
atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak
investasi kolektif dan bentuk usaha tetap.
B. Subyek pajak
penghasilan
Subjek pajak adalah istilah dalam peraturan perundang-undangan perpajakan
untuk perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) berdasarkan peraturan
perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Seseorang atau suatu badan
merupakan subjek pajak, tapi bukan berarti orang atau badan itu punya kewajiban
pajak.
Subyek pajak penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) dikenakan terhadap orang
pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh
selama satu tahun pajak.
Menurut Undang
Undang no.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan, subyek pajak penghasilan
adalah sebagai berikut:
- Subyek pajak orang pribadi
yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari
dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam
suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat
tinggal di Indonesia.
- Subyek pajak harta warisan belum
dibagi yaitu warisan dari seseorang
yang sudah meninggal dan belum dibagi tetapi menghasilkan pendapatan, maka
pendapatan itu dikenakan pajak.
- Subyek pajak badan
badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, kecuali unit
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria:
Pembentukannya
berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan;
Pembiayaannya
bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau Anggaran Pendapatan
dan Belanja Daerah;
penerimaannya
dimasukkan dalam anggaran Pemerintah Pusat atau Pemerintah Daerah; dan
pembukuannya diperiksa oleh aparat pengawasan fungsional negara; dan
- Bentuk usaha tetap
yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat
tinggal di Indonesia atau berada di indonesia tidak lebih dari 183 hari
dalam jangka waktu dua belas bulan, atau badan yang tidak didirikan dan
berkedudukan di Indonesia, yang melakukan kegiatan di Indonesia.
Subjek
pajak dibedakan menjadi Subjek Pajak Dalam Negeri dan Subjek Pajak Luar Negeri.
Contoh
Subyek Pajak Dalam Negeri adalah :
A.
Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau yang berada di
Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu
12 (dua belas) bulan, atau yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan
mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.
B. Badan sebagai subjek pajak,
adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan satu kesatuan, baik yang
melakukan usaha maupun tidak melakukan usaha, yang meliputi Perseroan Terbatas,
Perseroan Komanditer (CV), Perseroan lainnya, Badan Usaha Milik Negara/Daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, Firma, Kongsi, Koperasi, Dana Pensiun,
Persekutuan, Perkumpulan, Yayasan, Organisasi masa, Orgaisasi sosial politik,
atau organisasi yang sejenis, Lembaga, Bentuk Usaha Tetap, dan bentuk badan
lainnya, termasuk Reksa dana. Badan Usaha Milik Negara dan Badan Usaha Milik
Daerah, merupakan Subjek Pajak, tanpa memperhatikan nama dan bentuknya,
sehingga setiap unit dari badan pemerintah, misalnya lembaga, badan, dan
sebagainya yang dimiliki oleh pemerintah pusat, maupun pemerintah daerah, yang
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan untuk memperoleh penghasilan
merupakan subjek pajak. Sebagai subjek pajak perusahaan Reksadana, baik yang
berbentuk perseroan terbatas, maupun bentuk lainnya, termasuk dalam pengertian
badan. Sedangkan pengertian perkumpulan termasuk pula assosiasi, persatuan,
perhimpunan, atau ikatan dari pihak-pihak yang mempunyai kepentingan yang sama.
C. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan,
menggantikan yang berhak. Warisan
sebagai Subjek Pajak, merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka
yang berhak dikemudian hari, ini menjadi dasar agar pengenaan pajak dari
warisan tersebut tetap terjamin, berhubung misalnya yang punya harta (warisan)
semasa hidup tidak menetapkan siapa yang bertanggung jawab dikemudian hari
apabila yang bersangkutan meninggal dunia. Contoh : Ahmad semasa hidup memiliki
usaha bengkel mobil yang selalu tetap memenuhi kewajiban pajaknya setiap tahun.
Suatu saat Ahmad meninggal, harta (warisan berupa bengkel mobil) belum
dibagikan kepada ahli waris, maka selama belum dibagikan harta (bengkel mobil)
tersebut, berstatus sebagai subjek pajak. Apabila harta (bengkel mobil)
dimaksud, telah dibagikan (ditetapkan) pemilik barunya, maka warisan (harta)
tersebut berakhir kedudukannya sebagai subjek pajak. Berdasarkan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak No. KEP-161/PJ./2001, Tgl 21 Pebruari 2001, Tentang
Jangka Waktu Pendaftaran, Pelaporan Kegiatan Usaha, dan Tatacara Penghapusan
NPWP, serta Pengukuhan Dan Pencabutan PKP, pada pasal 10 menyebutkan, bahwa
dalam hal wajib pajak yang telah memiliki NPWP meninggal dunia, dan
meninggalkan warisan yang belum terbagi, maka warisan yang belum terbagi tadi
kedudukannya sebagai subjek pajak, menggunakan NPWP dari wajib pajak yang
meninggal dunia, dan ahli warisnya wajib mengisi formulir yang ditentukan, dan
dalam menghitung Penghasilan Kena Pajak (PKP)nya, tidak diberikan pengurangan
berupa Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), sebagaimana ditegaskan dalam Surat
Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE-10/PJ.41/1996, Tgl 12 Pebruari 1996.
Contoh
Subyek Pajak Luar Negeri adalah :
A. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di
Indonesia atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan
puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang tidak
didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha
atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.
B. Bentuk
Usaha Tetap ditentukan sebagai subjek pajak tersendiri sebagai Subjek Pajak
Luar Negeri, sekalipun tatacara pengenaannya serta ketentuan administrasi
perpajakannya sama dengan wajib pajak dalam negeri.
Selanjutnya
dalam Pasal 2 ayat (5), UU No. 36 Tahun 2008-PPh,
dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan Bentuk Usaha Tetap, adalah bentuk usaha
yang dipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia,
atau yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12
bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, yang dapat berupa:
a) Tempat
kedudukan manajemen ;
b) Cabang
perusahaan ;
c) Kantor
perwakilan ;
d) Gedung
kantor ;
e) Pabrik
;
f) Bengkel
;
g) Gudang
;
h) Ruang
untuk promosi dan penjualan ;
i)
Pertambangan dan
penggalian sumber alam ;
j)
Wilayah kerja
pertambangan minyak dan gas bumi ;
k) Proyek
konstruksi, instalasi, atau proyek perakitan ;
l)
Pemberian jasa dalam
bentuk apapun oleh pegawai atau orang lain, sepanjang dilakukan lebih dari 60
(enam puluh) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan ;
m) Orang
atau badan yang bertindak selaku agen yang kedudukannya tidak bebas ;
n) Agen
atau pegawai asuransi yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di
Indonesia yang dapat menerima premi asuransi atau menanggung resiko di
Indonesia ; dan
o) Computer,
agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui
internet.
p) Computer,
agen elektronik, atau peralatan otomatis yang dimiliki, disewa, atau digunakan
oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan usaha melalui
internet.
Seterusnya
menurut penjelasan pasal 2 ayat (5) UU
No. 36 Tahun 2008, menyatakan bahwa
suatu bentuk usaha tetap mengandung pengertian adanya suatu tempat usaha
(”place of bussiness”), yaitu fasilitas yang dapat berupa tanah dan gedung
termasuk juga mesin-mesin, peralatan, gudang dan komputer atau agen elektronik
atau peralatan otomatis (automated equipment), yang dimiliki, disewa, atau
digunakan oleh penyelenggara transaksi elektronik untuk menjalankan aktivitas
usaha melalui internet. Tempat usaha tersebut bersifat permanen dan digunakan
untuk menjalankan usaha atau melakukan kegiatan dari orang pribadi yang tidak
bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan
di Indonesia.
Pengertian
bentuk usaha tetap mencakup pula orang pribadi atau badan selaku agen yang
kedudukannya tidak bebas yang bertindak untuk dan atas nama orang pribadi atau
badan yang tidak bertempat tinggal atau tidak bertempat kedudukan di Indonesia.
Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal atau badan yang tidak didirikan dan
tidak bertempat kedudukan di Indonesia, tidak dapat dianggap mempunyai bentuk
usaha tetap di Indonesia, apabila orang pribadi atau badan dalam menjalankan
usaha, atau melakukan kegiatan di Indonesia, menggunakan, broker atau perantara
yang mempunyai kedudukan bebas, asalkan agen atau perantara tersebut dalam
kenyataannya bertindak sepenuhnya dalam rangka menjalankan perusahaannya sendiri.
Perusahaan
asuransi
yang didirikan dan bertempat tinggal diluar Indonesia, dianggap mempunyai
bentuk usaha tetap di Indonesia, apabila perusahaan asuransi tersebut menerima
pembayaran premi asuransi di Indonesia, atau menanggung resiko di Indonesia
melalui pegawai atau perwakilan atau agennya di Indonesia. Menanggung resiko di
Indonesia tidak berarti bahwa peristiwa yang mengakibatkan resiko tersebut
terjadi di Indonesia. Yang perlu diperhatikan adalah bahwa pihak tertanggung
bertempat tinggal, atau berada atau bertempat kedudukan di Indonesia.
Selanjutnya
dalam penjelasan pasal 2 ayat (1) huruf b, UU No. 36 Tahun 2008, unit usaha
tertentu dari badan pemerintah yang memenuhi kriteria berikut, tidak termasuk
sebagai subjek pajak yaitu :
a) Dibentuk
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b) Dibiayai
dengan dana yang bersumber dari APBN atau APBD.
c) Penerimaan
lembaga tersebut dimasukan dalam anggaran pemerintah pusat atau pemerintah
daerah.
d) Pembukuannya
diperiksa oleh aparat pengawasan funfsional negara. Apabila suatu badan/lembaga
memenuhi syarat–syarat tersebut diatas, maka ia tidak termasuk subjek pajak
penghasilan. Sebalikya apabila syarat-syarat tersebut tidak dipenuhi, maka badan/lembaga
tersebut adalah subjek pajak pada pajak penghasilan.
C. Bukan subyek pajak
penghasilan
Pengecualian sebagai subjek pajak diatur
dalam Pasal 3 UU
No. 36 Thn 2008, dimana dalam pasal
tersebut dikemukakan bahwa yang tidak termasuk sebagai Subjek Pajak adalah :
a)
Kantor Perwakilan
Negara Asing ;
b)
Pejabat-pejabat
perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat-pejabat lain dari negara asing,
dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka, yang bekerja pada dan
bertempat tinggal bersama mereka, dengan syarat :
1.
Bukan Warga Negara
Indonesia;
2.
Tidak menerima
penghasilan lain diluar tugas dan jabatannya;
3.
Negara yang
bersangkutan memberikan perlakuan yang sama (azas timbal balik).
c)
Organisasi-organisasi
Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan terakhir dengan
Kep. MK 601/KMK.03/2005, dengan syarat :
1.
Indonesia menjadi
anggota organisasi tersebut; dan
2.
Tidak menjalankan usaha
atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari Indonesia, selain dari
pemberian pinjaman kepada pemerintah yang dananya berasal dari iuran para
anggota.
d)
Pejabat-pejabat
perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri
Keuangan (sebagaimana dimaksud huruf c), dengan syarat bukan WNI, dan di
Indonesia tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia.
Penjelasan Pasal 3 huruf (a) dan (b)
tersebut diatas, menerangkan bahwa sesuai dengan kelaziman yang berlaku secara
Internasional, bahwa badan perwakilan negara asing beserta pejabat-pejabatnya,
serta orang yang diperbantukan, serta tinggal bersama mereka dengan syarat
bukan WNI, tidak melakukan ke giatan lain, serta negara asing tersebut
memberikan perlakauan yang sama (azas timbal balik), dikecualikan sebagai
subjek pajak. Pengecualian tersebut tidak berlaku, apabila mereka memperoleh
penghasilan lain di Indonesia, diluar jabatannya atau mereka adalah WNI. Dengan
demikian apabila pejabat perwakilan suatu negara asing, memperoleh penghasilan
lain diluar jabatannya, maka ia termasuk subjek pajak yang dapat dikenakan
pajak atas penghasilan tesebut. Namun apabila negara asal pejabat tersebut
memberikan pembebasan pajak kepada perwakilan Indonesia, atas penghasilan lain
diluar tugas dan jabatannya, maka kembali lagi berlaku azas timbal balik.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Pasal 3
huruf (c) dan (d), diatur lebih lanjut dalam KMK seperti disebut diatas. Yang
dimaksud dengan organisasi Internasional adalah organisasi/badan/lembaga/asosiasi/perhimpunan/forum
antar pemerintah atau non pemerintah ygbertujuan untuk meningkatkan kerjasama
Internasional dan dibentuk dengan aturan tertentu atau kesepakatan bersama,
sedangkan yang dimaksud dengan pejabat perwakilan organisasi Internasional
adalah pejabat yang diangkat langsung oleh induk organisasi Internasional yang
bersangkutan untuk menjalankan tugas atau jabatan dalam organisasi tersebut di
Indonsia.
Selanjutnya dikemukakan bahwa organisasi Internasional bukan merupakan subjek pajak penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut ;
a) Indonesia
menjadi anggota organisasi didalamnya dan;
b) Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia selain pemberian pinjaman kepada Pemerintah yang dananya berasal dari
iuran anggota.
Organisasi
internasional yang berbentuk kerjasama tehnik dan atau kebudayaan bukan
Merupakan
subjek pajak, pajak penghasilan apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Kerjasama
tehnik tsb memberi manfaat pada negara/Pemerintah Indonesia;
b) Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan dari
Indonesia
Pejabat perwakilan dari organisasi Internasional tersebut diatas, bukan merupakan subjek
pajak
penghasilan, apabila memenuhi syarat sebagai berikut :
a) Bukan
Warga Negara Indonesia ; dan
b) Tidak
menjalankan usaha atau kegiatan atau pekerjaan lain untuk memperoleh
penghasilan dari Indonesia
Organisasi
Internasional dan pejabat perwakilan organisasi Internasional yang tidak
memenuhi
syarat tersebut diatas, dikenakan Pajak Penghasilan, sesuai dengan ketentuan
yang berlaku. Misalnya seorang pejabat perwakilan organisasi Internasional
diluar tugas pokoknya contoh menjadi pengajar bahasa asing di lembaga kursus
swasta, atau pembicara pada suatu seminar, kemudian mendapat honor, maka honor
tersebut dikenakan pemotongan PPh Pasal 21,atau Pasal 26, oleh penyelenggaranya
Mengenai Organisasi Internasional yang
dikecualikan sebagai subjek pajak, seperti dimaksud diatas, tidak diperinci
dalam modul ini, karena terlalu banyak dan kurang efisien, tetapi secara garis
besar dapat disebut disini yaitu :
b) Colombo
Plan (ada 8 organisasi)
c) Kerjasama
Tehnik (terdapat 18 kerjasama tehnik)
d) Kerjasama
Kebudayaan (ada 4 kerjasama kebudayaan)
e) Organisasi
–Organisasi Internasional lainnya (terdapat 54 badan)
f) Organisasi
Swasta Internasional (terdapat 18 organisasi). Apabila ada organisasi internasional,
tapi tidak termasuk dalam daftar dimaksud, maka organisasi internasional
tersebut menjadi subjek pajak.
Bermula Dan
berakhirnya Subjek Pajak
Sebagaimana dijelaskan pada pasal 2
ayat (1), orang mulai menjadi subjek pajak dalam negeri apabila :
a)
Pada saat dilahirkan di
Indonesia
b)
Pada saat menetap di
Indonesia (datang dari luar negeri); dan
c)
Pada awal masa ia berada
di Indonesia yang melebihi 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan secara
berturut-turut.
Sementara badan badan mulai menjadi subjek pajak dalam negeri
pada saat badan
itu didirikan
sesuai ketentuan yang berlaku pada hokum perdata. Contoh: Perseroan Terbatas
dianggap mulai berdiri pada saat mendapat pengesahan dari Menteri Kehakiman.
Selama belum
ada pengesahan dari Menteri Kehakiman, PT belum berdiri dan belum ada
(walaupun sudah didirikan di hadapan notaries); yang ada baru perikatan antara
beberapa orang, yang mungkin dianggap sebagai firma sejak saat didirikan.
Sementara itu subjek pajak dinyatakan
berakhir apabila :
1) Untuk orang pribadi
·
orang tersebut meniggal
dunia
·
orang tersebut
meninggalkan NKRI untuk selama-lamanya
2) Untuk warisan belum terbagi
Warisan yang belum terbagi akan berakhir
dari status subjek pajak jika warisan tersebut selesai dibagikan kepada
masing-masing ahli waris yang memiliki haknya sesuai dengan hukum yang berlaku.
3) Untuk badan dan BUT
Adapun saat dimana badan atau BUT tidak
lagi menjadi subjek pajak adalah bilamana hal yang mejadi syarat mereka tidak
lagi menjadi subjek pajak telah mereka penuhi, yaitu:
·
Badan
tersebut telah menyelesaikan proses likuidasi dan atau dibubarkan
·
BUT
tidak lagi berada dan melakukan kegiatan usaha di Indonesia.
Bagi
subjek pajak LN, saat berakhirnya status mereka sebagai subjek pajak adalah
saat dimana mereka tidak lagi memperoleh penghasilan dari Indonesia.
D.Obyek Pajak Penghasilan
Yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan
yaitu setiap Tambahan Kemampuan
Ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari
Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau
untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam
bentuk apapun.
Undang-undang Pajak Penghasilan Indonesia menganut prinsip pemajakan
atas penghasilan dalam pengertian yang luas, yaitu bahwa pajak dikenakan atas
setiap tambahan kemampuan ekonomis yang Diterima atau
Diperoleh Wajib Pajak dari manapun
asalnya yang dapat dipergunakan untuk konsumsi atau menambah kekayaan Wajib
Pajak tersebut.
Pengertian penghasilan dalam Undang-undang PPh tidak memperhatikan
adanya penghasilan dari sumber tertentu, tetapi pada adanya tambahan kemampuan
ekonomis. Tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak
merupakan ukuran terbaik mengenai kemampuan Wajib Pajak tersebut untuk ikut
bersama-sama memikul biaya yang diperlukan pemerintah untuk kegiatan rutin dan
pembangunan.
Dilihat dari penggunaannya, penghasilan dapat dipakai untuk konsumsi
dan dapat pula ditabung untuk menambah kekayaan Wajib Pajak.
Karena Undang-undang PPh menganut pengertian penghasilan yang luas
maka semua jenis penghasilan yang diterima atau diperoleh dalam suatu tahun
pajak digabungkan untuk mendapatkan dasar pengenaan pajak. Dengan demikian,
apabila dalam satu Tahun Pajak suatu usaha atau
kegiatan menderita kerugian, maka kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan
lainnya (Kompensasi Horisontal),
kecuali kerugian yang diderita di luar negeri. Namun demikian, apabila suatu
jenis penghasilan dikenakan pajak dengan tarif yang bersifat final atau
dikecualikan dari Objek Pajak, maka penghasilan tersebut tidak boleh
digabungkan dengan penghasilan lain yang dikenakan tarif umum.
E. Wajib
Pajak Badan
Wajib Pajak Badan adalah Badan seperti yang dimaksud pada UU KUP,
meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak
dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
perpajakan atau memiliki kewajiban subjektif dan kewajiban objektif serta telah
mendaftarkan diri untuk memproleh Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).
F. Pajak
Penghasilan Badan
Pada
pasal 1 UU Pajak Penghasillan, Pajak Penghasilan adalah Pajak yang dikenakan
terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam
tahun pajak.
Pajak
Penghasilan Badan (PPh Badan) adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan yang
diterima atau diperoleh oleh Badan seperti yang dimaksud dalam UU KUP.
Adapun subjek dari PPh Badan yaitu :
1. Wajib
Pajak Badan dalam negeri, yaitu badan yang didirikan atau bertempat kedudukan
di Indonesia.
2. Wajib
Pajak Badan luar negeri, yaitu badan yang tidak didirikan atau tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui
BUT di Indonesia, dan atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat
kedudukan di Indonesia yang menerima penghasilan dari Indonesia tidak dari
menjalankan usaha melalui BUT di Indonesia.
Yang menjadi objek pajak PPh Badan adalah
penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau
diperoleh wajib pajak badan baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib
pajak badan yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun.
G. Kewajiban
Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan
Berikut kewajiban dari Wajib Pajak Badan :
1. Kewajiban
mendaftarkan diri
Dalam hal ini mendaftarkan diri untuk memiliki NPWP (Nomor Pokok
Wajib Pajak) dan apabila wajib pajak badan melakukan kegiatan penyerahan barang
kena pajak dan atau jasa kena pajak atau ekspor barang kena pajak yang terutang
PPN berdasarkan UU PPN 1984, maka wajib pajak badan tersebut memiliki kewajiban
untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak (PKP). Untuk wajib pajak badan
atau pengusaha kecil yaitu selama satu tahun buku melakukan penyerahan BKP dan
atau JKP dengan jumlah peredaran bruto tidak lebih dari Rp600.000.000,- (enam
ratus juta rupiah) maka tidak diwajibkan untuk dikukuhkan sebagai PKP, kecuali
pengusaha kecil tersebut memilih untuk dikukuhkan sebagai PKP. Jadi, apabila
peredaran brutonya lebih dari 600 juta maka wajib mengukuhkan diri menjadi PKP.
Pada pasal 2 ayat (4) UU KUP, “Dirjen Pajak menerbitkan NPWP
dan/atau mengukuhkan PKP secara jabatan apabila WP atau PKP tidak melaksanakan
kewajibannya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan/atau ayat (2).
2. Kewajiban
untuk menyelenggarakan pembukuan.
Sebagaimana terdapat pada pasal 28 ayat (1) UU KUP, yaitu WP orang
pribadi yang melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan WP badan di
Indonesia, wajib menyelenggarakan pembukuan.
Pembukuan :
Menurut
UU No.28 tahun 2007 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan,Pembukuan adalah
proses pencatatan yang dilakukan secara teratur untuk mendapatkan data &
informasi keuangan yang meliputi keadaan harta, kewajiban atau utang, modal,
penghasilan dan biaya serta jumlah harga perolehan dan penyerahan barang atau
jasa yang terutang maupun yang tidak terutang PPN, yang dikenakan PPN dengan
tarif 0% (nol persen) dan yang dikenakan PPnBM, yang ditutup dengan menyusun
laporan keuangan berupa neraca dan penghitungan rugi/laba pada saat tahun pajak
berakhir.
Ketentuan mengenai Pembukuan :
Pembukuan tersebut harus diselenggarakan dengan:
a. memperhatikan
iktikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya,
b. harus
diselenggarakan di Indonesia, dengan menggunakan huruf latin, angka Arab,
satuan mata uang rupiah, dan disusun dalam bahasa Indonesia atau dalam bahasa
asing yang diizinkan oleh Menkeu,
c. diselenggarakan
dengan prinsip taat asas dan dengan stelsel akrual dan stelsel kas,
d. perubahan
terhadap metode pembukuan dan/atau tahun buku harus mendapat persetujuan dari
Dirjen Pajak.
Prinsip Taat Asas :
Prinsip taat asas adalah prinsip yang sama digunakan dalam metode pembukuan
dengan tahun-tahun sebelumnya untuk mencegah penggeseran laba atau rugi.
Misalnya dalam penerapan : Stelsel pengakuan penghasilan; Tahun buku;
Metode penilaian persediaan; Metode penyusutan dan amortisasi.
|
3. Kewajiban
melakukan pemotongan dan pemungutan, diantaranya yaitu:
a. Kewajiban
pajak sendiri (seperti PPh Pasal 25/29);
b. Kewajiban
memotong atau memungut (pot/put) pajak atas penghasilan orang lain (misalnya:
PPh Pasal 21/26, PPh Pasal 22, PPh Pasal 23/26, dan PPh Final); dan
c. Kewajiban
memungut PPN dan atau PPn BM (jika ada) yang khusus berlaku bagi Pengusaha Kena
Pajak (PKP).
Jenis-jenis pajak yang menjadi kewajiban Wajib Pajak Badan secara
umum bisa diuraikan sebagai berikut:
a. PPh
Pasal 21/Pasal 26
Yaitu PPh yang wajib dipotong atas penghasilan sehubungan dengan
pekerjaan, jasa, atau kegiatan yang diterima atau diperoleh orang pribadi,
sesuai dengan ketentuan Pasal 21 UU PPh.
Wajib Pajak Badan wajib melakukan pemotongan PPh Pasal 21 atas
penghasilan para karyawan yang bekerja di perusahaan tersebut maupun
penghasilan orang pribadi lainnya, seperti tenaga ahli, yang dibayar atau
terutang oleh perusahaan. Dalam hal terdapat pembayaran penghasilan, yang termasuk
objek PPh Pasal 21, kepada orang pribadi yang berstatus WP luar negeri, PPh
yang dipotong mengacu pada ketentuan Pasal 26 UU PPh atau berdasarkan tax
treaty.
Kewajiban PPh Pasal 21/Pasal 26 yang harus dilaksanakan, meliputi:
SPT Masa PPh Pasal 21/26 pada setiap Masa Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan
disetor oleh Wajib Pajak Badan, yang terutang pada setiap masa pajak. PPh Pasal
26 yang terutang atas pembayaran kepada orang pribadi yang berstatus Wajib
Pajak Luar Negeri juga wajib dilaporkan pada SPT Masa PPh Pasal 21. Pada
dasarnya, PPh Pasal 21 yang dilaporkan dalam SPT Masa merupakan angsuran atau
pajak dibayar di muka untuk PPh Pasal 21 yang terutang pada akhir tahun pajak
yang bersangkutan.
SPT Masa PPh Pasal 21 pada Akhir Tahun Pajak
Merupakan pelaporan atas PPh Pasal 21 yang telah dihitung dan
dilunasi pada suatu tahun pajak, termasuk PPh Pasal 26 yang terutang atas
penghasilan orang pribadi berstatus WP luar negeri. SPT Masa PPh Pasal 21 untuk
Akhir Tahun Pajak sebenarnya merupakan penghitungan ulang atas PPh Pasal 21
yang telah dilaporkan dalam SPT Masa PPh Pasal 21 untuk Masa Pajak
Januari sampai dengan Desember. Bisa jadi, pada SPT Masa PPh Pasal 21 pada
akhir tahun nantinya timbul kurang bayar, atau lebih bayar, atau mungkin juga
nihil (PPh Pasal 21 yang sudah disetor sama dengan PPh Pasal 21 yang terutang).
b. PPh
Pasal 23
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen, royalty,
bunga, hadiah dan penghargaan selain yang telah dikenakan PPh Pasal 21, sewa
dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, serta imbalan jasa
sehubungan dengan jasa-jasa seperti jasa teknik, jasa manajeman, jasa
konsultan, dan jasa lain, yang ditetapkan dalam ketentuan Pasal 23 UU PPh.
c. PPh
Pasal 26
Yaitu PPh yang dipotong atas penghasilan berupa dividen; bunga;
royalti; sewa dan imbalan lain sehubungan dengan penggunaan harta; imbalan
sehubungan dengan jasa, pekerjaan dan kegiatan, hadiah dan penghargaan; serta
pensiun dan pembayaran berkala lainnya yang diterima/diperoleh WP luar negeri.
Ketentuan ini diatur dalam Pasal 26 UU PPh.
Penghitungan dan penyetoran PPh Pasal 26 sebaiknya tetap dilakukan
secara tersendiri, meskipun untuk pelaporannya digabungkan dengan PPh
Pasal 21 atau PPh Pasal 23, tergantung pada jenis objek pajaknya serta penerima
penghasilannya;
1) Jika
objek pajaknya cenderung sama dengan PPh Pasal 21 dan penerima penghasilannya
adalah orang pribadi berstatus WP luar negeri, maka pelaporannya melalui SPT
Masa PPh Pasal 21 dan atau Pasal 26;
2) Jika
penerima penghasilannya berbentuk badan dan berstatus WP luar negeri,
pelaporannya melalui SPT Masa PPh Pasal 23 dan atau Pasal 26.
d. PPh
Final
Yaitu PPh yang dipotong atas jenis penghasilan tertentu atau jenis
usaha tertentu yang diatur secara khusus (special treatment) melalui peraturan
pemerintah. Misalnya, PPh Final atas persewaan tanah dan atau bangunan. Jadi,
seandainya Wajib Pajak Badan menyewa gedung dari pihak lain untuk dipergunakan
sebagai kantor, maka Wajib Pajak Badan wajib memotong, menyetor, dan melaporkan
PPh Final yang terutang atas sewa kantor tersebut.
e. PPh
Pasal 25
Yaitu pembayaran angsuran PPh dalam tahun pajak berjalan yang
harus dibayar sendiri oleh WP untuk setiap bulan. Besarnya PPh Pasal 25 yang
wajib disetor setiap bulan dihitung berdasarkan ketentuan Pasal 25 UU PPh
beserta ketentuan pelaksanaannya.
f. PPh
Pasal 29
Yaitu kewajiban untuk melunasi kekurangan pembayaran pajak yang
terutang pada akhir tahun pajak, dengan memperhitungkan kredit pajak berupa
angsuran PPh Pasal 25 yang telah disetor setiap bulan dan PPh yang telah
dipotong/dipungut oleh pihak lain.
g. PPN
Yaitu pemungutan pajak atas penyerahan BKP (Barang Kena Pajak)
atau JKP (Jasa Kena Pajak) yang dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) di dalam
Daerah Pabean, yang meliputi suatu masa pajak. Dalam hal BKP tergolong
barang mewah, terdapat Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM) yang juga
terutang sesuai ketentuan UU yang berlaku.
4. Kewajiban
menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT)
5. Kewajiban
membayar dan menyetorkan pajak
6. Kewajiban
membuat faktur pajak
7. Kewajiban
melunasi bea materai
8. Kewajiban
menaati pemeriksaan pajak
H. Hak
Wajib Pajak Badan dalam Perpajakan
Adapun hak dari wajib pajak dalam perpajakan, yaitu :
1. Hak untuk
mendapat pembinaan dan pengarahan dari fiskus
2. Hak untuk
membetulkan, memperpanjang waktu penyampaian SPT
3. Hak untuk
mengajukan keberatan, banding dan gugatan serta peninjauan kembali ke Mahkamah
Agung
4. Hak untuk
memperoleh kelebihan pembayaran pajak
5. Hak dalam
hal wajib pajak dilakukan pemeriksaan
6. Hak untuk
mendapat fasilitas perpajakan
7. Hak
mengajukan permohonan untuk mengangsur pembayaran pajak, menunda penagihan
pajak, dan memperoleh imbalan bungan dari keterlambatan pembayaran kelebihan
pajak oleh DJP
8. Hak untuk
melakukan pengkreditan pajak masukan terhadap pajak keluaran
9. Hak
mengurangi penghasilan kena pajak dengan biaya yang dikeluarkan sesuai biaya
fiskal.
I. Saat
Terutang, Penyetoran dan Pelaporan PPh Badan
Saat terutang dari pajak penghasilan badan
adalah pada saat badan atau perusahaan tersebut sudah mendapat penghasilan atau
laba. Pajak Penghasilan (PPh) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaiman telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 36 tahun 2008, pph
badan harus dibayar paling lama tanggal 15 (lima belas) bulan berikutnya
setelah Masa Pajak berakhir (angsuran pajak).
Dalam hal tanggal jatuh tempo pembayaran
bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, maka
pembayaran dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional
temasuk hari yang diliburkan untuk penyelengaraan Pemilihan Umum yang
ditetapkan oleh pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan
oleh pemerintah.
Pembayaran pajak dilakukan melaui Bank Persepsi
atau bank Devisi Persepsi atau Kantor Pos Persepsi dengan sistem pembayaran
secara online. Pembayaran pajak harus digunakan dengan menggunakan
Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan
Surat Setoran Pajak.
Surat Setoran Pajak (SSP) atau
sarana administrasi lain berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah
disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila
telah mendapat validasi. SSP atau sarana administrasi lain dianggap sah apabila
telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerimaan Negara (NTPN).
Apabila pajak terutang untuk satu tahun pajak
lebih besar dari jumlah kredit pajak maka penyetoran kekurangan pajak yang
terutang (pph pasal 29) harus dilunasi selambat-lambatnya sebelum SPT Tahunan
disampaikan. Sedangkan, untuk pelaporan SPT, maksimal disampaikan pada akhir
bulan keempat setelah tahun pajak berakhir.
J. Cara
Penghitungan Pajak Penghasilan (PPh) Badan
Terjadi perbedaan pengakuan pendapatan dan biaya antara pembukuan
komersil dengan pembukuan menurut perpajakan. Berikut perbedaan diantara
keduanya.
Beda Tetap (Permanent Difference)
1. Menurut
akuntasi komersial merupakan penghasilan, sedangkan menurut ketentuan Pajak
Penghasilan bukan penghasilan.
Misal: dividen yang diterima oleh Perseroan Terbatas sebagai wajib
pajak dalam negeri dari penyertaan modal sebesar 25% atau lebih
pada badan usaha yang didirikan dan
berkedudukan di
Indonesia.
2. Menurut
akuntansi komersial merupakan penghasilan sedangakan menurut ketentuan PPh
telah dikenakan PPh yang bersifat final. Penghasilan ini dikenakan pajak
tersendiri (final) sehingga dipisahkan (tidak perlu digabung) dengan
penghasilan lainnya dalam menghitung PPh terutang.
Misal: penghasilan atas bunga deposito atau tabungan lainnya yang
telah dipotong PPh Final oleh Bank sebesar 20%.
3. Menurut
akuntansi komersial merupakan beban (biaya) sedangkan menurut ketentuan PPh
tidak dapat dibebankan sebagai pengurang penghasilan bruto (Pasal 9 UU PPh).
Misalnya :
a. Biaya-biaya
yang digunakan untuk memperoleh penghasilan
yang bukan obyek pajak atau pengenaan pajaknya bersifat final.
b. Penggantian
atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura atau kenikmatan.
c. Sanksi
perpajakan berupa bunga, denda, dan kenaikan.
d. Biaya-biaya
yang menurut ketentuan PPh tidak dapat dibebankan karena tidak memenuhi
syarat-syarat tertentu (misalnya: daftar nominatif biaya entertainment, daftar
nominatif atas penghapusan piutang).
Beda Sementara (Temporary Difference)
Beda waktu merupakan perbedaan metode yang digunakan antara
akuntansi komersial dengan ketentuan fiskal.
Misalnya yaitu :
a. Metode
penyusutan,
b. Metode
penilaian persediaan,
c. Penyisihan
piutang tak tertagih,
d. Rugi-laba
selisih kurs.
Pengertian Rekonsiliasi Fiskal
Karena terjadi perbedaan pengakuan dalam menyusun laporan keuangan
antara komersil dengan perpajakan maka perlu dilakukan penyesuaian atau
rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah suatu mekanisme penyesuaian
pelaporan keuangan wajib pajak badan menurut ketentuan komersial diubah menjadi
menurut ketentuan perpajakan atau fiskal. Rekonsiliasi fiskal adalah sebuah
lampiran SPT tahunan PPh Badan berupa kertas kerja yang berisi penyesuaian
antara laba/rugi sebelum pajak menurut komersial dengan laba/rugi menurut SPT
Tahunan (perpajakan).
Untuk melakukan penghitungan PPh Badan, harus diketahui laba
fiskal dalam tahun pajak yang didapat dari rekonsiliasi fiskal. Rekonsiliasi
fiskal dilakukan terhadap seluruh unsur penyusunan laporan laba rugi, meliputi
pendapatan dan biaya, secara ringkas rekonsiliasi fiskal dilakukan terhadap :
1. Wajib pajak
yang memiliki penghasilan final
2. Wajib
pajak yang memiliki penghasilan yang bukan objek pajak
3. Wajib
pajak mengeluarkan biaya-biaya yang tidak boleh menjadi pengurang penghasilan
(pasal 9 UU PPh)
4. Wajib
pajak mengeluarkan biaya yang boleh menjadi pengurang (biaya fiskal) tetapi
metode pengakuan biaya tersebut diatur oleh ketentuan fiskal
5. Wajib
pajak mengeluarkan biaya yang dikeluarkan bersama untuk mendapatkan pendapatan
yang telah dikenakan PPh final
Dalam rekonsiliasi fiskal terdapat koreksi fiskal. Dimana koreksi
fiskal ini terdiri dari koreksi positif dan koreksi negatif. Koreksi positif
adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal bertambah atau rugi fiskal
berkurang. Koreksi negatif adalah koreksi yang mengakibatkan laba fiskal berkurang
atau rugi fiskal bertambah.
Berikut langkah-langkah penghitungan PPh Badan :
Jumlah penghasilan neto
bruto xxxx
Biaya
xxxx –
Penghasilan neto
komersial xxxx
Koreksi fiskal:
Positif
xxxx
Negatif
(xxxx) +-
Penghasilan neto
fiskal
xxxx
Kompensasi
kerugian
xxxx –
Penghasilan kena pajak xxxx
PPh
terutang
xxxx
Kredit pajak:
Dipotong/dipungut pihak
ketiga xxxx
Telah dibayar
sendiri xxxx
+
Jumlah kredit
pajak
xxxx –
Kurang/lebih
bayar
xxxx
Perhitungan PPh Terutang
a. Tarif
tertinggi 25% (dua puluh lima persen) mulai berlaku sejak tahun pajak 2010.
b. Wajib
Pajak Badan dalan negeri yang berbentuk perseroan terbuka yang paling sedikit
40% (empat puluh persen) dari jumlah keseluruhan saham yang disetor
diperdagangkan di bursa efek di Indonesia dan memenuhi persyaratan tertentu
lainnya dapat memperoleh tarif sebesar 5% (lima persen) lebih rendah yang
diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.
c. Untuk
keperluan penerapan tarif pajak, jumlah Penghasilan Kena Pajak dibulatkan
kebawah dalam ribuan rupiah penuh.
d. Wajib
Pajak Badan dalam negeri dengan peredaran bruto sampai dengan Rp
50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) mendapat fasilitas berupa
pengurangan tarif sebesar 50% (lima puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang
dikenakan atas Penghasilan Kena Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan
Rp 4.800.000.000,00 (empat miliar delapan ratus juta rupiah)
Fasilitas perpajakan diberikan untuk memberikan kemudahan bagi
sektor-sektor usaha tertentu dengan pertimbangan tertentu, misalnya daya saing,
penyerapan lapangan kerja dan perlindungan kepentingan umum. Adapun berbagai
fasilitas dan insentif perpajakan bagi wajib pajak badan, sebagai berikut :
1. Fasilitas
perpajakan yang berkaitan dengan tarif pajak
a. Fasilitas
tarif pasal 17 ayat (2B) UU PPh
Dimana fasilitas ini diberikan kepada WP Badan dalam negeri yang
berbentuk perseroan terbuka dan paling sedikit 40% dari jumlah keseluruhan
saham yang disetor, diperdagangkan dibursa efek Indonesia. Fasilitas bagi
perseroan yang memenuhi persyaratan dapat memperoleh tarif 5% lebih rendah dari
tarif yang berlaku.
b. Fasilitas
tarif pasal 31E ayat (1) UU PPh
Fasilitas ini diberikan kepada Wajib Pajak Badan dalam negeri
dengan peredaran bruto sampai dengan Rp 50.000.000.000,00 (lima puluh miliar
rupiah) mendapat fasilitas berupa pengurangan tarif sebesar 50% (lima
puluh persen) dari tarif PPh Pasal 17 yang dikenakan atas Penghasilan Kena
Pajak dari bagian peredaran bruto sampai dengan Rp 4.800.000.000,00 (empat
miliar delapan ratus juta rupiah)
2. Fasilitas
perpajakan yang berkaitan dengan non tarif atau insentif
Fasilitas ini dapat berupa pajak dibebaskan, tidak dipungut, atau
ditanggung pemerintah.
a. Fasilitas
PPh untuk penanaman modal dibidang usaha tertentu dan atau didaerah-daerah
tertentu.
Pihak yang berhak mendapat fasilitas ini adalah wajib pajak badan
dalam negeri berbentuk perseroan terbatas dan koperasi, baik yang baru berdiri
maupun yang telah ada, serta melakukan penanaman modal baru maupun perluasan
dari usaha yang telah ada pada bidang usaha tertentu dan daerah tertentu.
Fasilitas yang diberikan yaitu :
1) Pengurangan
penghasilan neto paling tinggi 30% dari jumlah penanaman yang dilakukan,
2) Penyusutan
dan maortisasi yang dipercepat,
3) Kompensasi
kerugian yang lebih lama tetapi tidak lebih dari 10 tahun,
4) Pengenaan
PPh atas deviden yang dibayarkan kepada subjek pajak luar negeri sebesar 10%
atau tarif lebih rendah menurut persetujuan penghindaran pajak berganda yang
berlaku.
b. Fasilitas
untuk PPN atau PPnBM
Dalam bidang PPN terdapat dua fasilitas yaitu pajak terutang tidak
dipungut dan pembebasan dari pengenaan pajak yang dapat berlaku sementara atau
selamanya. Jadi pihak-pihak yang memiliki usaha dan membantu kehidupan bangsa
akan mendapat fasilitas perpajakan. Misalnya kegiatan yang sifatnya untuk
menyendiakan alat-alat TNI, POLRI, dll. Dan kegiatan yang meningkatkan
kecerdasan bangsa seperti buku-buku pelajaran, dll.
3. Fasilitas
yang membutuhkan surat keterangan bebas (SKB)
SKB dapat diajukan oleh WP kepada kantor pajak yang terkait dengan
kewajiban PPh pasal 21, PPh pasal 22 misal atas impor emas batangan untuk
ekspor emas batangan, PPh pasal 23 atas pemotongan PPh bunga deposito dan
tabungan serta diskonto SBI, SKB terkait PPN.
4. Fasilitas
perpajakan terkait kondisi-kondisi tertentu
a. Pengembalian
pendahuluan kelebihan pajak
Fasilitas ini berkaitan dengan pengembalian kelebihan pajak yang
mana wajib pajak yang memenuhi kriteria tertentu didahulukan daripada wajib
pajak lainnya. Melalui penelitian tanpa pemeriksaan dengan jangka waktu tiga
bulan untuk PPh dan satu bulan untuk PPN.
b. Pengurangan
PPh pasal 25 karena keadaan perubahan usaha
c. Fasilitas
perpajakan karena pengecualian terkait kondisi tertentu
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan dan Saran
Wajib pajak badan dan pajak penghasilan badan merupakan bagian
yang sangat kompleks dalam perpajakan. Baik dari segi macam-macam usaha yang
termasuk badan dalam pengertian pajak maupun cara penghitungan pajak
penghasilan itu sendiri. Begitu juga dengan hak dan kewajiban dari wajib pajak
badan. Kewajiban menyelenggarakan pembukuan bagi wajib pajak badan tanpa
memandang omzet karena wajib pajak badan dirasa telah terbentuk dalam suatu
organisasi yang terarah sehingga mampu menyelenggarakan pembukuan perpajakan.
Dan perbedaan yang terjadi pada laporan keuangan komersil dengan
laporan keuangan pajak membuat wajib pajak harus melakukan penyesuaian agar
didapat laba fiskal dengan cara merekonsiliasinya.
Wajib pajak badan juga memiliki berbagai fasilitas yang diberikan
dengan ketentuan dan krietria tertentu agar memudahkan wajib pajak dalam
menjalankan kewajiban perpajakannya. Sehingga penerimaan negara disektor pajak
menjadi maksimal.
sumber : http://dokumen.tips/download/link/bab-i-pph-badan
0 Response to "PPH BADAN"
Post a Comment