PPN DAN PPNBM
1.1
Konsep
Dasar PPN dan PPnBM
Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) mulai diperkenalkan di Indonesia sejak 1 April 1985
untuk menggantikan Pajak Penjualan (PPn). Hal ini dituangkan dalam UU No 8
tahun 1983. PPN diatur dalam UU No 8 tahun 1983 tentang PPN dan PPnBM, selanjutnya
diubah dengan UU No.11 tahun 1994, lalu diubah dengan UU No. 18 tahun 2000,
terakhir diubah lagi dengan UU No.42 tahun 2009.
PPN
(Pajak Pertambahan Nilai) adalah pajak atas konsumsi barang dan jasa di Daerah
Pabean yang dikenakan secara bertingkat di setiap jalur produksi dan distribusi
(Siti Resmi, 2012:1). Dalam Dirjen Pajak, Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
didefinisikan sebagai pajak yang dikenakan atas setiap pembelian Barang Kena
Pajak dan pemanfaatan Jasa Kena Pajak baik di dalam wilayah Indonesia maupun
dari luar daerah Pabean. Pada dasarnya semua barang merupakan Barang Kena
Pajak, sehingga dikenakan PPN, kecuali jenis barang yang diatur dalam Undang
Undang PPN. Ada juga barang yang merupakan Barang Kena Pajak tetapi PPNnya
dibebaskan, misalnya buku pelajaran umum dan buku pelajaran agama dan
barang-barang tertentunya.
Menurut
UU Perpajakan No.18 Tahun 2000,
Pajak Pertambahan Nilai merupakan pajak yang dikenakan atas:
1) Penyerahan
Barang Kena Pajak (BKP) di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
2) Impor
Barang Kena Pajak.
3) Penyerahan
Jasa kena Pajak di dalam Daerah Pabean yang dilakukan oleh Pengusaha.
4) Pemanfaatan
Barang Kena Pajak tidak berwujud di luar Daerah Pabean di dalam daerah Pabean.
5) Pemanfaatan
Jasa Kena Pajak di luar Daerah Pabean di dalam Pabean.
6) Ekspor
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak.
Ketentuan
tentang subjek PPN tertuang dalam pasal 3A UU No.42 Tahun 2009 berikut ini:
1) Pengusaha
yang melakukan penyerahan BKP dan/atau penyerahan JKP di dalam daerah pabean
dan/atau melakukan ekspor BKP berwujud, ekspor JKP, dan/atau ekspor BKP tidak
berwujud wajib melaporkan usahanya 18 untuk dikukuhkan sebagai PKP dan wajib
memungut, menyetor, dan melaporkan PPN dan PPnBM yang terutang. Kewajiban di
atas tidak berlaku untuk pengusaha kecil yang jumlah penerimaan bruto untuk
suatu tahun pajak tidak melebihi Rp 600.000.000.
2) Pengusaha
kecil diperkenankan untuk memilih dikukuhkan menjadi PKP. Apabila pengusaha
kecil memilih menjadi PKP, undang – undang ini berlaku sepenuhnya bagi pengusaha
kecil tersebut.
Objek
Pajak Pertambahan Nilai Ketentuan tentang objek PPN diatur dalam pasal 4 ayat
(1), pasal 4A ayat (2), dan pasal 4A ayat (3) UU No. 42 Tahun 2009 berikut ini
:
1. Pasal
4 ayat (1) mengatur PPN yang dikenakan atas:
(a) penyerahan
BKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha,
(b) impor
BKP,
(c) penyerahan
JKP di dalam daerah pabean yang dilakukan oleh pengusaha,
(d) pemanfaatan
BKP tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean,
(e) pemanfaatan
JKP dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean,
(f) ekspor
BKP berwujud oleh Pengusaha Kena Pajak,
(g) ekspor
BKP tidak berwujud oleh PKP, dan
(h) ekspor
JKP oleh PKP.
2.
Pasal 4A ayat (2) mengatur tentang jenis barang yang tidak dikenai PPN, yakni:
(a) barang
hasil pertambangan atau hasil pengeboran yang diambil langsung dari sumbernya;
(b) barang
kebutuhan pokok yang sangat dibutuhkan oleh rakyat banyak;
(c) makanan
dan minuman yang disajikan 19 di hotel, restoran, rumah makan, warung, dan
sejenisnya, meliputi makanan dan minuman baik yang dikonsumsi di tempat maupun
tidak, termasuk makanan dan minuman yang diserahkan oleh usaha jasa boga atau
katering;
(d) uang,
emas batangan, dan surat berharga.
3.
Pasal 4A ayat (3) mengatur tentang jenis jasa yang tidak dikenai PPN, yakni
jasa tertentu dalam kelompok jasa sebagai berikut:
(a) jasa
pelayanan kesehatan medis,
(b) jasa
pelayanan sosial,
(c) jasa
pengiriman surat dengan perangko,
(d) jasa
keuangan,
(e) jasa
asuransi,
(f) jasa
keagamaan,
(g) jasa
pendidikan,
(h) jasa
kesenian dan hiburan,
(i)
jasa penyiaran yang
tidak bersifat iklan,
(j)
jasa angkutan umum di
darat dan di air serta jasa angkutan udara dalam negeri yang menjadi bagian
yang tidak terpisahkan dari jasa angkutan udara luar negeri,
(k) jasa
tenaga kerja,
(l)
jasa perhotelan,
(m) jasa
yang disediakan oleh pemerintah dalam rangka menjalankan pemerintahan secara
umum,
(n) jasa
penyediaan tempat parker,
(o) jasa
telepon umum dengan menggunakan uang logam,
(p) jasa
pengiriman uang dengan wesel pos, dan
(q) jasa
boga atau catering.
1.2
Dasar
Hukum dan Variabel-Variabel dalam Mekanisme Perhitungan PPN dan PPn BM
Pengusaha
kena pajak adalah pengusaha yang melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau
penyerahan Jasa Kena Pajak yang dikenai pajak berdasarkan Undang-Undang PPN
1984.
Bukti
pungutan pajak yang dibuat oleh pengusaha kena pajak (PKP) yang melakukan
penyerahan barang kena pajak (BKP) atau penyerahan jasa kena pajak (JKP).
Faktur pajak dibuat pada :
1.
Saat penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau Jasa Kena Pajak;
2.
Saat penerimaan
pembayaran dalam hal penerimaan pembayaran terjadi sebelum penyerahan Barang
Kena Pajak dan/atau sebelum penyerahan Jasa Kena Pajak;
3.
Saat penerimaan
pembayaran termin dalam hal penyerahan sebagian tahap pekerjaan;
4.
Saat PKP rekanan
menyampaikan tagihan kepada Bendahara Pemerintah sebagai Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai;
5.
Saat lain yang diatur
dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
6.
Untuk Faktur Pajak
Gabungan harus dibuat paling lama pada akhir bulan penyerahan Barang Kena Pajak
dan/atau Jasa Kena Pajak.
Jenis Faktur Pajak
Tiga jenis faktur pajak yang
ditentukan oleh UU PPN 1994 , yaitu :
1. Faktur Pajak Standar
Faktur
Pajak Standar adalah faktur pajak yang bentuk dan isinya telah ditetapkan oleh
perundang-undangan. Dalam faktur pajak standar harus dicantumkan keterangan
tentang penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak meliputi :
·
nama, alamat, NPWP yang menyerahkan BKP atau JKP;
·
nama, alamat, dan NPWP pembeli BKP atau penerima JKP;
·
jenis barang atau jasa, jumlah Harga Jual atau Penggantian,
dan potongan harga;
·
PPN yang dipungut;
·
PPn BM yang dipungut;
·
kode, nomor seri dan tanggal pembuatan Faktur Pajak; dan
·
nama dan tandatangan yang berhak menandatangani Faktur Pajak
2. Faktur
Pajak Sederhana
Faktur
pajak sederhana adalah faktur pajak yang dibuat sebagai bukti pemungutan pajak
atas penyerahan Barang kena pajak atau Jasa Kena Pajak kepada konsumen akhir
atau kepada pembeli/penerima jasa yang tidak menunjukkan identitas dengan
lengkap.
Faktur
pajak sederhana sekurang-kurangnya harus memuat :
1. Nama, alamat dan NPWP yang
menyerahkan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
2. Jenis dan kuantitas Barang Kena
Pajak dan atau Jasa Kena Pajak
3. Jumlah harga jual atau penggantian
yang sudah termasuk PPN atau besarnya PPN dicantumkan secara terpisah
4. Tanggal pembuatan Faktur Pajak
Sederhana
Pengusaha Kena Pajak dapat membuat
Faktur Pajak Sederhana, dalam hal PKP melakukan :
a. Penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak yang dilakukan langsung kepada konsumen akhir
b. Penyerahan Barang Kena Pajak atau
Jasa Kena Pajak kepada pembeli dan atau penerima Jasa Kena Pajak yang diketahui
identitasnya secara lengkap
3. Faktur
Pajak Gabungan
Faktur
Pajak Gabungan adalah Faktur Pajak Standar yang meliputi semua penyerahan
Barang Kena Pajak atau penyerahan Jasa Kena Pajak yang terjadi selama satu
bulan takwim kepada pembeli yang sama atau penerima Jasa Kena Pajak yang sama.
Faktur
Pajak Gabungan yang merupakan Faktur Pajak Standar harus dibuat
selambat-lambatnya pada akhir bulan berikutnya setelah bulan penyerahan Barang
Kena pajak dan atau Jasa Kena Pajak
Dasar
Pengenaan Pajak
Menurut
Waluyo (2003 :11) Dasar Pengenaan Pajak adalah dasar yang dipakai untuk
menghitung pajak yang terutang, antara lain :
1)
Harga Jual adalah nilai
berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta oleh
penjual karena penyerahan Barang Kena Pajak (BKP), tidak termasuk PPN yang
dipungut menurut UU PPN 1984 dan potongan harga yang dicantumkan dalam Faktur
Pajak.
Contoh:
Pengusaha
Kena Pajak X menjual tunai Barang Kena Pajak dengan Harga Jual Rp 35.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp 35.000.000,00 = Rp 3.500.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 3.500.000,00 tersebut merupakan Pajak
Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak X.
2)
Penggantian merupakan
nilai berupa uang termasuk semua biaya yang diminta atau seharusnya diminta
oleh pemberi jasa karena penyerahan JKP tidak termasuk pajak yang dipungut
menurut Undang-undang ini dan potongan harga yang dicantumkan dalam faktur
pajak.
Contoh
:
Pengusaha
Kena Pajak X melakukan penyerahan Jasa Kena Pajak dengan memperoleh Penggantian
Rp 30.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 10% x Rp30.000.000,00
= Rp 3.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai sebesar Rp 3.000.000,00 tersebut
merupakan Pajak Keluaran yang dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak X.
3) Nilai
Ekspor merupakan nilai berupa uang, termasuk semua biaya yang diminta atau
seharusnya diminta oleh eksportir. Misalnya Harga yang tercantum dalam
Pemberitahuan Ekspor Barang (PEB).
4) Nilai
Impor merupakan nilai berupa uang yang menjadi dasar perhitungan bea
masuk
ditambah pungutan lainnya yang dikenakan berdaasrkan ketentuan dalam peraturan
perundang-undangan Pabean untuk impor BKP, tidak termasuk PPN yang dipungut
menurut Undang-undang PPN dan PPnBM.
Contoh
:
Pengusaha
Kena Pajak X mengimpor Barang Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dengan Nilai
Impor Rp 25.000.000,00. Pajak Pertambahan Nilai yang dipungut melalui
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai = 10% x Rp 25.000.000,00 = Rp 2.500.000,00.
Contoh
:
Pengusaha
Kena Pajak X melakukan ekspor Barang Kena Pajak dengan Nilai Ekspor Rp 20.000.000,00.
Pajak Pertambahan Nilai yang terutang = 0% x Rp 20.000.000,00 = Rp 0,00.
5)
Nilai Lain adalah jumlah
yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak dengan Keputusan Menteri
Keuangan. Nilai Lain yang ditetapkan sebagai Dasar Pengenaan Pajak adalah
sebagai berikut :
1.
Untuk penyerahan atau
penjualan BKP, yang menjadi DPP adalah jumlah harga jual
2.
Untuk penyerahan JKP,
yang menjadi DPP adalah penggantian.
3.
Untuk impor, yang
menjadi DPP adalah nilai impor.
4.
Untuk ekspor, yang
menjadi DPP adalah nilai ekspor.
5.
Atas kegiatan membangun
sendiri bangunan permanen dengan luas 300m2 atau lebih, yang
dilakukan orang pribadi atau badan tidak dalam lingkungan perusahaan atau
pekerjaannya, DPP-nya adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang
dikeluarkan untuk membangun (tidak termasuk harga perolehan tanah).
6.
Untuk pemakaian sendiri
BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi laba
kotor.
7.
Untuk pemberian
cuma-cuma BKP dan atau JKP adalah Harga Jual atau Penggantian setelah dikurangi
laba kotor.
8.
Untuk penyerahan media
rekaman suara atau gambar adalah perkiraan Harga Jual rata-rata.
9.
Untuk penyerahan film
cerita adalah perkiraan hasil rata-rata per judul film.
10.
Untuk penyerahan produk
hasil tembakau adalah sebesar harga jual eceran.
11.
Untuk BKP berupa
persediaan dan atau aktiva yang menurut tujuan semula tidak untuk
diperjualbelikan, yang masih tersisa pada saat pembubaran perusahaan adalah harga pasar wajar.
12.
Untuk penyerahan BKP
dari pusat ke cabang atau sebaliknya dan penyerahan BKP antar cabang adalah
harga pokok penjualan atau harga perolehan.
13.
Untuk penyerahan BKP
melalui pedagang perantara adalah harga yang disepakati antara pedagang
perantara dengan pembeli.
14.
Untuk penyerahan BKP
melalui juru lelang adalah harga lelang.
15.
Untuk penyerahan jasa
pengiriman paket adalah 10% (sepuluh persen) dari jumlah yang ditagih atau
jumlah yang seharusnya ditagih.
16.
Untuk penyerahan jasa
biro perjalanan atau jasa biro pariwisata adalah 10% (sepuluh persen) dari
jumlah tagihan atau jumlah yang seharusnya ditagih.
Tarif
Pajak
1.
Pajak Pertambahan Nilai
·
Tarif Pajak Pertambahan
Nilai adalah 10% (sepuluh persen).
·
Tarif Pajak Pertambahan
Nilai atas ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen), yang meliputi
Ekspor BKP Berwujud, Ekspor BKP Tidak Berwujud, dan Ekspor JKP. Pengenaan tarif
0% tidak berarti pembebasan dari
pengenaan PPN.
·
Dengan Peraturan
Pemerintah, tarif pajak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi
serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas
persen) dengan tetap memakai prinsip tarif tunggal.
2. Pajak Penjualan atas Barang Mewah
·
Tarif Pajak Penjualan
Atas Barang Mewah adalah paling rendah 10% (sepuluh persen) dan paling tinggi
200% (dua ratus persen). Ketentuan mengenai tarif kelompok BKP yang tergolong
mewah yang dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah dengan Peraturan
Pemerintah. Sedangkan ketentuan mengenai jenis Barang yang dikenai Pajak
Penjualan atas Barang Mewah diatur berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.
·
Atas ekspor Barang Kena
Pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen). PPn BM
yang telah dibayar atas perolehan BKP yang tergolong mewah yang diekspor dapat
diminta kembali (restitusi).
Dasar hukum PPN dan PPn BM
(a) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang
Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah
sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2009.
(b) Peraturan Pemerintah Nomor 143 Tahun
2000. Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan
Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali
diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2000.
(c) Peraturan Pemerintah Nomor 144 Tahun
2000 tentang Jenis Barang dan Jasa yang Tidak Dikenakan Pajak Pertambahan
Nilai.
(d) Peraturan Pemerintah Nomor 145 Tahun
2000 tentang Kelompok Barang Kena Pajak yang Tergolong Mewah yang Dikenakan
Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah beberapa kali diubah
terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun 2006.
(e) Peraturan Pemerintah Nomor 146 Tahun
2000 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu dan atau
Penyerahan Jasa Kena Pajak Tertentu yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2003.
(f) Peraturan Pemerintah Nomor 12 Tahun
2001 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat
Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana
telah beberapa kali diubah terakhir dengan Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun
2007.
Mekanisme Pemungutan
dan Perhitungan PPN
1. Mekanisme
Pemungutan
Sebelum
Barang Kena Pajak atau Jasa Kena Pajak dikonsumsi pada tingkat konsumen, PPN
telah dipungut pada setiap mata rantai jalur produksi maupun jalur distribusi.
Pemungutan pada setiap tingkat ini tidak menimbulkan efek ganda (Casscade
effect) karena adanya umur kredit pajak.
Menurut
Waluyo (2003 : 3) ada 3 (tiga) metode dalam mekanisme pemungutan PPN,
diantaranya:
1) Addition
Method
Pada
metode ini bahwa PPN dihitung dari tarif kali seluruh penjumlahan nilai tambah.
Pada metode ini disyaratkan bahwa setiap Pengusaha Kena Pajak mempunyai
pembukuan yang tertib dan rinci atas biaya yang dikeluarkan.
2) Substraction
Method
Pada
metode ini, PPN yang terutang dihitung dari tarif kali selisih antara harga
penjualan dengan harga pemebelian.
3) Credit
Method
Metode
ini hampir sama dengan metode butir 2 di atas. Pada credit method ini harus
mencari selisih antara pajak yang dibayar saat pembelian dengan pajak yang
dipungut saat penjualan. Metode ini hasilnya lebih akurat karena dimungkinkan
komponen harga beli terdapat komponen yang tidak terutang PPN. Dalam hal metode
pengkreditan menggunakan substrucion method yang mengahsilkan pajak atas nilai
tambah secarat tidak langsung, disebut indirect substruction method. Demikian
pula penyebutan invoice method sebagai akibat dituntut alat bukti berupa Faktur
Pajak (tax invoice).
2.
Mekanisme
Perhitungan
Cara
menghitung PPN yang terutang adalah dengan mengalikan Tarif Pajak Pertambahan Nilai (10% atau 0% untuk ekspor
Barang Kena Pajak) dengan Dasar Pengenaan Pajak.
PPN
Terutang = Tarif PPN x Dasar Pengenaan Pajak
Pajak
Pertambahan Nilai juga menggunakan mekanisme pengkreditan Pajak Masukan
terhadap Pajak Keluaran, di mana menurut Pasal 1 angka 24 UU PPN:
Pajak
Masukan adalah Pajak Pertambahan Nilai yang seharusnya sudah dibayar oleh
Pengusaha Kena Pajak karena perolehan Barang Kena Pajak dan atau Jasa Kena
Pajak dan atau pemanfaatan Barang Kena Pajak tidak berwujud dari luar Daerah
Pabean dan atau pemanfaatan Jasa Kena Pajak dari luar Daerah Pabean dan atau
impor Barang Kena Pajak. Menurut Pasal 25 UU PPN “Pajak Keluaran adalah Pajak
Pertambahan Nilai terutang yang wajib dipungut oleh Pengusaha Kena Pajak yang
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak, penyerahan Jasa Kena Pajak, atau ekspor
Barang Kena Pajak”.
Adapun
pengkreditan Pajak Masukan terhadap Pajak Keluaran adalah:
a) Pajak
Masukan dalam suatu Masa Pengkreditan dengan Pajak Keluaran untuk Masa Pajak
yang sama (Pasal 9 ayat 2 UU PPN)
b) Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Keluaran lebih besar daripada Pajak Masukan, maka
selisihnya merupakan Pajak Pertambahan Nilai yang harus dibayar oleh Pengusaha
Kena Pajak (Pasal 9 ayat 3 UU PPN)
c) Apabila
dalam suatu Masa Pajak, Pajak Masukan yang dapat dikreditkan lebih besar
daripada Pajak Keluaran, maka selisihnya merupakan kelebihan pajak yang dapat
dimintakan kembali atau dikompensasikan ke Masa Pajak berikutnya (Pasal 9 ayat
4 UU PPN).
d) Pajak
Masukan yang dapat dikreditkan tetapi belum dikreditkan dengan Pajak Keluaran
pada Masa Pajak yang sama, dapat dikreditkan pada Masa Pajak berikutnya paling
lambat 3 (tiga) bulan setelah berakhirnya Masa Pajak bersangkutan sepanjang
belum dibebankan sebagai biaya dan belum dilakukan pemeriksaan.
Pengertian PPN keluaran
dan PPN masukan
PPN
keluaran adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak melakukan
penjualan terhadap barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak (JKP).
Sedangkan PPN masukan adalah pajak yang dikenakan ketika Pengusaha Kena Pajak
melakukan pembelian terhadap barang kena pajak (BKP) atau jasa kena pajak
(JKP).
Pengertian WAPU PPN
Istilah
yang digunakan oleh praktisi pajak untuk menyebut badan atau instansi tertentu
yang ditunjuk untuk memungut, menyetorkan dan melaporkan PPN. Pemungut PPN
(WAPU PPN) yang dimaksud disini adalah :
1.
Bendaharawan Pemerintah
dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) berdasarkan Keputusan Menteri
Keuangan RI Nomor KMK-563/KMK.03/2003. Bendaharawan atau Pejabat yang melakukan
pembayaran yang dananya berasal dari APBN atau APBD, yang terdiri dari
Bendaharawan Pemerintah Pusat dan Daerah baik Propinsi, Kabupaten, atau Kota.
2.
Kontraktor Kontrak
Kerjasama Pengusahaan Minyak dan Gas Bumi dan kontraktor/ pemegang kuasa/
pemegang izin pengusahaan sumber daya panas bumi berdasarkan Peraturan Menteri
Keuangan RI Nomor PMK-73/PMK.03/2010.
3.
Badan Usaha MiliK
Negara (BUMN) berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor
PMK-136/PMK.03/2012. Badan Usaha Milik Negara adalah badan usaha yang seluruh
atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara
langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan.
1.3
Tata
Cara Perhitungan, Penyetoran dan Pelaporan PPN dan PPn BM
Dasar pemungutan PPN dan
PPnBM adalah jumlah pembayaran yang dilakukan oleh Bendaharawan Pemerintah atau
jumlah pembayaran yang dilakukan oleh KPKN sebagaimana tersebut dalam Suart
Perintah Membayar (SPM).
Jumlah
atau PPnBM yang dipungut
a.
Dalam hal penyerahan BKP hanya terutang
PPN, maka jumlah PPN yang dipungut adalah 10/110 bagian dari jumlah pembayaran.
b. Dalam hal penyerahan BKP yang tergolong mewah
dari pengusaha yang menghasilkan BKP yang tergolong mewah tersebut, disamping
terutang PPN juga terutang PPnBM, maka jumlah PPN dan PPnBM yang dipungut
adalah sebagai berikut:
Dalam hal terutang PPnBM
sebesar 20%, maka jumlah PPN yang dipungut sebesar 10/130 bagian dari jumlah
pembayaran sedangkan jumlah PPnBM yang dipungut sebesar 20/130 bagian dari
jumlah pembayaran.
c. Dalam hal pembayaran berjumlah paling
banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta
rupiah) dan tidak merupakan jumlah yang terpecah – pecah, maka PPN dan PPnBM
tidak perlu dipungut oleh Bendaharawan Pemerintah. Batas jumlah pembayaran
sebesar Rp 1.000.000,00
Yang Wajib Disetor Oleh
PKP adalah:
a.
PPN yang dihitung sendiri melalui pengkreditan
Pajak Masukan dan Pajak Keluaran. Yang disetor adalah selisih Pajak Masukan dan
Pajak Keluaran, bila Pajak Masukan lebih kecil dari Pajak Keluaran.
b.
PPnBM yang dipungut oleh PKP Pabrikan Barang
Kena Pajak (BKP) yang tergolong mewah.
c.
PPN/PPnBM yang ditetapkan oleh Direktorat
Jenderal Pajak dalam Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar (SKPKB), Surat
Ketetapan Pajak Kurang Bayar Tambahan (SKPKBT), dan Surat Tagihan Pajak (STP).
Tempat Pembayaran/ Penyetoran Pajak
1.
Kantor Pos dan Giro
2.
Bank Pemerintah, Kecuali BTN
3.
Bank Pembangunan Daerah
4.
Bank Devisa
5.
Bank bank lain penerima setoran pajak
6.
Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Khusus
untuk impor tanpa LKP
Tata Cara Pemungutan
dan Penyetoran
1.
PKP rekanan Pemerintah
membuat Faktur Pajak dan SSP pada saat menyampaikan tagihan kepada Bendaharawan
Pemerintah atau KPPN baik untuk sebagian maupun seluruh pembayaran.
2.
SSP sebagaimana
dimaksud pada huruf a diisi dengan membubuhkan NPWP dan identitas PKP Rekanan
Pemerintah yang bersangkutan, tetapi penandatanganan SSP dilakukan oleh
Bendaharawan Pemerintah atau KPKN sebagai penyetor atas nama PKP Rekanan
Pemerintah.
3.
Dalam hal penyerahan
BKP tersebut terutang PPnBM maka PKP rekanan Pemerintah mencantumkan jumlah
PPnBM yang terutang pada Faktur Pajak.
4.
Faktur Pajak
sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat dalam rangkap 3:
·
Lembar ke-1 untuk Bendaharawan Pemerintah
atau KPPN sebagai Pemungut PPN.
·
Lembar ke-2 untuk arsip PKP rekanan
Pemerintah.
·
Lembar ke-3 untuk Kantor Pelayanan Pajak
melalui Bendaharawan Pemerintah atau KPPN.
5.
Dalam hal Pemungutan
oleh Bendaharawan Pemerintah, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a dibuat
rangkap 5 (lima). Setelah PPN dan atau
PPnBM disetor Bank Persepsi atau Kantor Pos, lembar – lembar SSP tersebut
diperuntukan sebagai berikut:
·
Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah.
·
Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak
melalui KPPN
·
Lembar ke-3 untuk PKP Rekanan Pemerintah di
lampirkan pada saat SPT Masa PPN.
·
Lembar ke-4 untuk Bank Persepsi atau Kantor
Pos.
·
Lembar ke-5 untuk pertinggala Bendaharawan
Pemerintah.
6.
Dalam hal pemungutan
oleh KPPN, SSP sebagaimana dimaksud pada huruf a di buat dalam rangkap 4
(empat) yang masing-masing diperuntukan sebagai berikut:
·
Lembar ke-1 untuk PKP Rekanan Pemerintah
·
Lembar ke-2 untuk Kantor Pelayanan Pajak
KPPN.
·
Lembar ke-3 untuk PKP rekanan Pemerintah
dilampirkan pad SPT Masa PPN.
·
Lembar ke-4 untuk pertinggal KPPN.
7.
Pada lembar Faktur
Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d oleh Bendaharawan Pemerintah yang
melakukan pemungut wajib dibubuhi cap “Disetor tanggal ………” dan ditandatangani
oleh Bendaharawan Pemerintah.
8.
Pada setiap lembar
Faktur Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf d dan SSP sebagaimana dimaksud
pada huruf f oleh KPPN yang melakukan pemungutan dicantumkan nomor dan tanggal
advis SPM.
9.
SSP lembar ke-1 dan
lembar ke-2 sebagaimana dimaksud pada huruf f dibubuhi cap “TELAH DIBUKUKAN”
oleh KPPN.
10.
Faktur Pajak dan SSP
merupakan bukti pemungutan dan penyetoran PPN dan atau PPnBM.
Tata Cara Penyetoran
1. PPn
dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP harus disetorkan paling lambat 15
(lima belas) bulan takwim berikutnya setelah bulan Masa Pajak.
Contoh
: Masa Pajak Januari 2002, penyetoran paling lambat tanggal 15 pebruari 2002.
2.
PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB,
SKPKBT, dan STP harus dibayar/ disetor sesuai batas waktu yang tercantum dalam
SKPKB, SKPKBT, dan STP tersebut.
3.
PPN / PPnBM atas impor, harus dilunasi bersamaan
dengan saat pembayaran Bea Masuk, dan apabila pembayaran Bea Masuk ditunda/
dibebaskan, harus dilunasi pada saat penyelesaian dokumen impor.
4. PPN/PPnBM
yang pemungutannya dilakukan oleh:
- Bendaharawan
Pemerintah, harus disetor paling lambat tanggal 7 (tujuh) bulan takwim
berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
- Pemungut
PPN selain Bendaharawan Pemerintah, harus disetor paling lambat 15 (lima
belas) bulan takwim berikutnya setelah Masa Pajak berakhir.
- Direktorat
Jenderal Bea dan Cukai yang memungut PPN / PPnBM atas impor, harus
menyetor dalam jangka waktu sehari setelah pemungutan pajak dilakukan.
5. PPN
dari penyerahan tepung terigu oleh Badan Urusan Logistik (BULOG), harus
dilunasi sendiri oleh PKP sebelum Surat Perintah Pengeluaran Barang (D.O)
ditebus.
Tata Cara Pelaporan
1.
PPN dan PPnBM yang
dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan
kepada Kantor Pelayanan Pajak setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak
berakhir.
2.
PPN dan PPnBM yang
tercantum dalam SKPKB, SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke
KPP yang menerbitkan.
3.
PPN dan PPnBM yang
pemungutnya dilakukan oleh:
a.
Bendaharawan Pemerintah
harus dilaporkan paling lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak
berakhir.
b.
Pemungut Pajak
Pertambahan Nilai selain Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat
20 (dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
c.
Direktorat Jenderal Bea
dan Cukai atas Impor, harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7
(tujuh) hari setelah batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4.
Untuk penyerahan tepung
terigu oleh BULOG, maka PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP, harus
dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada KPP setempat paling lambat 20
(dua puluh) hari setelah Masa Pajak berakhir.
Sarana Pembayaran/Penyetoran PPN/PPnBM
1.
Untuk membayar/menyetor PPN dan PPnBM digunakan
formulir Surat Setoran Pajak (SSP) yang tersedia di Kantor-kantor Pelayanan
Pajak dan Kantor-kantor Penyuluhan dan Pengamatan Potensi Perpajakan (KP4) di
seluruh Indonesia.
2.
Surat Setoran Pajak (SSP) menjadi lengkap dan
sah bila jumlah PPN/PPnBM yang disetorkan telah sesuai dengan yang tercantum di
dalam Daftar Nominatif Wajib Pajak (DNWP) yang dibuat oleh: Bank penerima
pembayaran, Kantor Pos dan Giro, atau Kantor Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
penerima setoran.
Saat Pelaporan PPN/PPnBM
1.
PPN dan PPnBM yang dihitung sendiri oleh PKP,
harus dilaporkan dalam SPT Masa dan disampaikan kepada Kantor Pelayanan Pajak
setempat paling lambat 20 hari setelah Masa Pajak berakhir.
2.
PPN dan PPnBM yang tercantum dalam SKPKB,
SKPKBT, dan STP yang telah dilunasi segera dilaporkan ke KPP yang menerbitkan.
3.
PPN dan PPnBM yang pemungutnya dilakukan oleh:
a.
Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling
lambat 14 (empat belas) hari setelah Masa Pajak berakhir.
b.
Pemungut Pajak Pertambahan Nilai selain
Bendaharawan Pemerintah harus dilaporkan paling lambat 20 (dua puluh) hari
setelah Masa Pajak berakhir.
c.
Direktorat Jenderal Bea dan Cukai atas Impor,
harus dilaporkan secara mingguan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari setelah
batas waktu penyetoran pajak berakhir.
4.
Untuk penyerahan tepung terigu oleh BULOG, maka
PPN dan PPnBM dihitung sendiri oleh PKP, harus dilaporkan dalam SPT Masa dan
disampaikan kepada KPP setempat paling lambat 20 (dua puluh) hari setelah Masa
Pajak berakhir.
DAFTAR PUSTAKA
Mardiasmo. 2011.
Perpajakan Edisi Revisi. Yogyakarta:
Penerbit ANDI
http://e-journal.uajy.ac.id/6164/3/EA217125.pdf
http://www.slideshare.net/ichacmiley/ppn-p-pn-bm-42504156
http://dudiwahyudi.com/pajak/pajak-pertambahan-nilai/tarif-dan-dasar-pengenaan-ppn.html
https://ninaaka.wordpress.com/2013/03/16/pajak-masukan-pajak-keluaran-dan-faktur-pajak/
http://datapajak.com/2014/12/15/wajib-pungut-wapu-ppn/23-11-2015
http://www.pajakonline.com/engine/learning/view.php?id=777
http://www.pratama.co/tata-cara-pembayaran-dan-pelaporan-ppn
0 Response to "PPN DAN PPNBM"
Post a Comment